Mengapa UU TNI Masih Digugat?
TEMPO.CO, Jakarta – Undang-Undang TNI terus mendapat penolakan setelah disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Sehari setelah Ketua DPR Puan Maharani mengetok palu, sembilan mahasiswa Universitas Indonesia mengajukan gugatan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI itu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut kuasa hukum pemohon, gugatan tersebut merupakan wujud penolakan terhadap proses pengesahan revisi UU TNI yang dianggap bermasalah. “Kami ingin menunjukkan kepada pemerintah, masyarakat tetap konsisten melakukan gerakan perlawanan,” ujar Abu Rizal Biladina, kuasa hukum pemohon, pada Rabu, 26 Maret 2025.
Teranyar, permohonan uji formil juga muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan. Kuasa hukum koalisi masyarakat sipil Viola Reininda menilai UU TNI sudah menyimpangi politik hukum dari reformasi yaitu menghapus dwifungsi militer. Padahal reformasi 1998 mengamanatkan militer tidak ikut campur dalam urusan politik. “Agar militer lebih profesional,” kata Viola usai mengajukan gugatan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu, 7 Mei 2025.
Viola mengatakan UU TNI ini juga sudah cacat sejak dalam proses penyusunan. Misalnya, dia berujar, dalam proses pembahasannya, surat presiden untuk membahas revisi Undang-Undang TNI justru keluar terlebih dahulu sebelum revisi undang-undang tersebut masuk ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) 2025. Di samping itu, kata dia, pembahasan revisi UU TNI tidak melibatkan partisipasi masyarakat yang bermakna, bahkan pembahasannya berlangsung secara tertutup. “Rapat justru dilakukan di resort,” kata Viola.
Selain terjadi pelanggaran dalam prosesnya, Direktur Imparsial Hussein Ahmad menambahkan, hasil revisi UU TNI itu berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer, terutama ketentuan dalam Pasal 7 yang menambah bentuk operasi militer selain perang. Salah satu contohnya TNI diberi kewenangan untuk menanggulangi ancaman pertahanan siber serta melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Adapun Fatia Maulidiyanti, salah satu penggugat dari koalisi masyarakat sipil, khawatir jika TNI masuk ke ranah sipil akan berbahaya bagi situasi sipil. Fatia mencontohkan pelibatan militer dalam proyek strategis nasional dan konflik Papua yang justru membuat terjadi banyak pelanggaran.
“Kami takut bila terus dilaksanakan, situasi akan semakin buruk,” kata Fatia.
Kendati muncul berbagai penolakan tersebut, Presiden Prabowo Subianto tetap meneken UU tersebut. Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan Prabowo telah menandatangani UU TNI pada Maret 2025 lalu. “Sudah, sudah, sebelum Lebaran, tanggal 27 atau 28 Maret,” kata Prasetyo saat dihubungi pada Kamis, 17 April 2025.
Dalam UU TNI yang diteken itu, terdapat empat perubahan dari UU sebelumnya. Keempatnya yakni Pasal 3, 7, 47, dan 53. Pasal 3 mengatur kedudukan TNI di bawah presiden dalam hal pengerahan dan penggunaan kekuatan militer.
Kemudian Pasal 7 ayat 2 mengatur bentuk-bentuk operasi militer selain perang yang dapat ditangani oleh prajurit. Pasal 47 memperluas jabatan sipil yang dapat diduduki oleh TNI, dari 10 menjadi 14 kementerian dan lembaga. Selanjutnya Pasal 53 mengatur tentang penambahan usia pensiun prajurit dan perwira TNI.
Merespons banyak gugatan atas empat perubahan tersebut, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin mengatakan bahwa aturan baru untuk tentara itu sudah ultimate. “Kami sudah tidak bicara lagi. Presiden sudah tanda tangan dan sudah berlaku,” katanya ditemui di kompleks Parlemen Senayan, Jakarta pada Rabu, 30 April 2025.
Dia mengatakan, tidak ada urusan politik dalam UU TNI itu. Menurut Sjafrie, undang-undang yang baru disahkan dalam rapat paripurna DPR pada 20 Maret lalu hanya untuk penegasan pembagian tugas militer. “TNI tidak akan berbuat sesuatu yang macam-macam,” ujarnya.
Di sisi lain, sebelumnya Menteri Hukum Supratman Andi Agtas justru mempersilakan masyarakat yang tidak sepakat UU TNI menempuh judicial evaluate di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Supratman, hal itu merupakan hak masyarakat. “(Judicial evaluate bagaimana?) semua boleh. Karena struktur ketatanegaraan baku,” kata dia di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa, 21 Januari 2025.
Politikus Partai Gerindra ini menyadari tidak semua masyarakat sepakat UU TNI. Meski begitu, dia meminta masyarakat memberikan kesempatan UU TNI berjalan. “Beri kesempatan kepada pemerintah untuk melaksanakan UU TNI,” kata dia.
Hingga kini, gugatan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI itu masih terus berdatangan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Novali Panji dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.