Gugatan UU TNI Oleh Masyarakat Sipil Ditolak MK, Apa Pertimbangannya?
TEMPO.CO, Jakarta – Gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI yang diajukan masyarakat pada perkara nomor 55/PUU-XXIII/2025 ditolak oleh Mahkamah Konstitusi. Alasannya, kata Hakim Konstitusi Saldi Isra, pemohon tidak dapat menguraikan dengan jelas ihwal pertautan potensi kerugian dengan dugaan persoalan konstitusionalitas sebagaimana yang disampaikan pada gugatan.
“Uraian pemohon yang merugi karena kesulitan mengakses informasi proses pembentukkan UU TNI tidak dikuatkan dengan bukti,” kata Saldi saat membacakan pertimbangan putusan, Kamis, 5 Juni 2025.
Bukti yang dimaksud Saldi, ialah terkait uraian dan kegiatan yang menunjukkan satu upaya aktif dari permohon untuk meminta akses informasi dalam proses pembentukkan UU TNI di DPR.
Hal tersebut, dia melanjutkan, juga diperkuat dengan pernyataan pemohon pada persidangan pemeriksaan yang mengatakan, tidak pernah mengikuti atau melakukan aktivitas yang dapat dimaknai sebagai upaya aktif dalam proses pembentukkan UU TNI.
“Pemohon hanya mengetahui pemberitaan melalui media,” ujar dia.
Dengan begitu, Saldi melanjutkan, pemohon dalam memperkuat kedudukan hukum tidak dapat membuktikan bahwa dirinya merupakan pihak yang telah melakukan upaya nyata dalam proses pembentukkan UU TNI.
Penjelasan pemohona, kata dia, juga tidak relevan dalam kerugian konstitusional. Sehingga, Mahkamah tidak menemukan bukti konkret yang menunjukkan adanya keterpautan dan hubungan sebab akibat antara pemohon dengan proses pembentukan UU TNI.
“Menurut Mahkamah, pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” ucap Guru besar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas itu.
Adapun, masyarakat atas nama Christian Adrianus Sihite dan Noverianus Samosir, mengajukan gugatan uji formil UU TNI ke Mahkamah dengan alasan terdapat kecacatan dalam proses pembentukannya.
Kecacatan tersebut, misalnya proses pembentukan UU TNI yang dipaksakan. Sebab, menurut pemohon, UU TNI tidak masuk dalam rancangan UU di program legislasi nasional prioritas DPR 2025.
Pemohon mengatakan, keinginan Menteri Pertahanan untuk memasukan RUU TNI ke dalam Prolegnas Prioritas DPR 2025 adalah perbuatan yang tidak mencerminkan proses pembuatan aturan perundang-undangan yang demokratis, melainkan penghinaan terhadap nilai negara hukum.
Selain gugatan UU TNI yang diajukan masyarakat sipil, Mahkamah juga menolak gugatan serupa, antara lain pada perkara nomor 58/PUU-XXIII-2025 yang diajukan mahasiswa FH Universitas Internasional Batam; dan perkara nomor 66/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa FH Universitas Pamulang.
Kemudian, perkara nomor 79/PUU-XXIII/2023 yang diajukan mahasiswa FH Brawijaya; dan perkara nomor 74/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa FH Universitas Islam Indonesia.
Sedangkan gugatan serupa yang diajukan mahasiswa FH Universitas Indonesia; FH Universitas Padjajaran; mahasiswa FH Universitas Gadjah Mada; dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Keamanan masih berlanjut.
Satu gugatan serupa pada perkara nomor 57/PUU-XXIII/2025 yang diajukan mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, tidak dilanjutkan karena pemohon mencabut permohonan.