Mereka Menolak Tambang Nikel di Raja Ampat
AKTIVITAS tambang di Raja Ampat ramai dibicarakan setelah Greenpeace Indonesia dan Aliansi Jaga Alam Raja Ampat menyampaikan protes keras. Mereka menuding kegiatan tambang nikel di lima pulau kecil, termasuk Gag, Kawe, Manuran, Manyaifun, dan Batang Pele, melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yang melarang pertambangan di pulau kecil dengan ekosistem sensitif.
Analisis Greenpeace menyebutkan lebih dari 500 hektare hutan telah rusak akibat penambangan dan sedimentasi dari kegiatan tersebut mengancam terumbu karang serta kehidupan bawah laut. Bahkan, dalam video yang dirilis Greenpeace, terlihat adanya pembukaan lahan di tengah pulau yang diduga sebagai lokasi tambang aktif.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengklaim tambang tersebut berada di luar wilayah konservasi. Meski demikian, Bahlil memastikan Kementerian ESDM akan mengecek ke lokasi dan mengevaluasi keberadaan tambang tersebut.
Bahlil juga memutuskan aktivitas tambang di Pulau Gag, salah satu pulau di gugusan Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, sudah dihentikan sementara. Dia menyebutkan izin usaha pertambangan (IUP) PT GAG Nikel diterbitkan sebelum dia menjabat sebagai Menteri ESDM. Pemerintah telah menghentikan sementara operasi tambang tersebut.
“Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan. Kami akan cek,” kata Bahlil di Kementerian ESDM, Kamis, 6 Juni 2025.
Sejumlah kalangan meminta pemerintah menindak tegas perusahaan tambang yang merusak kawasan Raja Ampat.
LBH Papua Minta Menteri ESDM Cabut Izin Tambang Nikel di Sekitar Raja Ampat
LBH Papua meminta Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mencabut izin tambang nikel yang beroperasi di sekitar kawasan Unesco International Geopark Raja Ampat. Direktur LBH Papua Festus Ngoranmele menilai pemberian izin tambang terhadap sejumlah perusahaan nikel yang beroperasi di sekitar Raja Ampat melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014.
Festus menyoroti pemberian izin tambang nikel terhadap kepada PT Gag Nikel yang beroperasi di Pulau Gag. “Pemberian izin ini sudah, sedang, dan akan menghancurkan pulau-pulau di kawasan Raja Ampat,” kata Festus dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu, 7 Juni 2025.
Dia juga meminta Bahlil tidak melindungi perusahaan yang merusak pulau-pulau kecil di wilayah pesisir. Festus juga mendorong Gubernur Provinsi Papua Barat Daya dan Bupati Raja Ampat agar segera membentuk peraturan daerah atau perda perlindungan kawasan Unesco International Geopark Raja Ampat.
Akademisi Desak Pemerintah Hentikan Permanen Tambang di Raja Ampat
Dosen Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mendesak pemerintah membatalkan izin tambang di Raja Ampat. Alasannya, aktivitas pertambangan di wilayah tersebut akan merusak lingkungan.
Apalagi, kata dia, perusahaan pemegang izin tambang kerap mengabaikan kewajiban reklamasi. “Untuk penambangan Raja Ampat, meski dengan reklamasi sekalipun, sudah pasti akan merusak alam geopark yang merupakan destinasi wisata,” kata Fahmy melalui keterangan tertulis pada Ahad, 8 Juni 2025.
Karena itu, Fahmy menuturkan pemerintah seharusnya menghentikan seluruh aktivitas pertambangan di Raja Ampat. Penghentian itu pun harus permanen, bukan penghentian operasi sementara seperti yang saat ini dilakukan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia terhadap PT Gag Nikel. “Jangan ada lagi izin penambangan selamanya,” ujarnya.
Lebih lanjut, Fahmy menyarankan Kejaksaan Agung turun tangan dalam persoalan ini. Sebab, dia menduga ada kong kalikong antara pemerintah pusat dan pengusaha tambang sehingga izin penambangan terbit di Raja Ampat. “Kalau terbukti, siapa pun harus ditindak secara hukum,” kata dia.
Koalisi Masyarakat Minta Pencabutan Semua Izin Tambang Raja Ampat
Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai mengkritik kehadiran Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dan para pejabat daerah Papua Barat Daya ke Pulau Gag, Raja Ampat. Para pejabat itu meninjau lokasi tambang yang dikelola PT Gag Nikel. Kunjungan kerja itu dilakukan seiring penolakan aktivis lingkungan dan koalisi masyarakat sipil terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat.
Perwakilan koalisi, Ayub Paa, menilai pemerintah berpihak pada perusahaan tambang dalam persoalan ini. Alasannya, Gubernur Papua Barat Daya Elisa Kambu mengklaim potret kerusakan lingkungan Raja Ampat yang beredar di media sosial merupakan hoaks. Menurut Elisa, laut di sana masih berwarna biru.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno juga mengklaim tidak menemukan indikasi pelanggaran di Pulau Gag. Dia menyebutkan space pesisir juga bersih dari sedimentasi. Namun Tri berujar Kementerian ESDM tetap menurunkan Inspektur Tambang untuk mengevaluasi seluruh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) di Raja Ampat.
“Pernyataan para pejabat itu merupakan pernyataan subjektif dan tidak dapat dibenarkan, terutama untuk menilai perusahaan pertambangan melakukan pelanggaran atau tidak,” kata Ayub melalui keterangan tertulis, dikutip pada Senin, 9 Juni 2025.
Ayub menuturkan penilaian adanya pelanggaran atau tidak oleh perusahaan-perusahaan tambang di Raja Ampat seharusnya dilakukan melalui penyelidikan. Hal tersebut menjadi kewenangan Polisi Khusus Khusus Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Polsus PWP3K). Dia mengatakan aturan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia NOMOR 12/PERMEN-KP/2013 tentang Pengawasan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
“Jadi dapat disimpulkan bahwa kehadiran Menteri ESDM dan pernyataan para pejabat daerah diduga menjadi upaya melindungi korporasi dan perusahaan yang mengancancam alam dan lingkungan Raja Ampat,” kata Ayub.
Karena itu, Koalisi Selamatkan Manusia dan Alam Domberai tetap mendesak pemerintah mencabut semua izin pertambangan di Raja Ampat. Desakan ini juga ditujukan kepada Bupati Raja Ampat karena ada sejumlah izin tambang yang terbit melalui SK Bupati.
Pengusaha Wisata Selam Surati Prabowo
Pelaku Usaha Wisata Selam Indonesia atau Indonesia Divetourism Corporate Affiliation (IDCA) menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto perihal persoalan tambang nikel di Raja Ampat. Surat itu dilayangkan pada Ahad, 8 Juni 2025, bertepatan dengan peringatan International Ocean Day.
Ketua Umum IDCA Ebram Harimurti mengatakan pelaku usaha wisata selam prihatin sekaligus khawatir keberadaan aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat akan merusak kawasan wisata tersebut. Padahal, Raja Ampat bukan hanya kebanggaan nasional, tapi juga simbol konservasi laut world.
“Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini,” ujar Ebram.
Melalui surat terbuka itu, IDCA pun melayangkan empat tuntutan kepada Prabowo, yaitu segera memerintahkan pencabutan izin tambang di seluruh kawasan Raja Ampat secara permanen. IDCA juga meminta pemerintah memperluas perlindungan zona larangan (no take zone) dan zona penyangga (buffer zone) di antara Kawe & Wayag dan menegakkan zonasi konservasi nasional yang melarang adanya kegiatan ekstraktif.
Kemudian, IDCA mendorong ekonomi hijau dan ekowisata berbasis masyarakat lokal, sebagai alternatif nyata dan bernilai jangka panjang. Terakhir, melibatkan masyarakat adat dan nelayan lokal dalam pengawasan dan pengelolaan kawasan, agar pembangunan benar benar inklusif dan berkelanjutan.
Nandito Putra, Riri Rahayu, Eka Yudha Saputra, dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Abdul Mu’ti: Banyak Sekolah yang Sedekah Nilai