Logo

Reaksi Pelaku Wisata atas Penambangan di Raja Ampat


TEMPO.CO, Jakarta – Aktivitas tambang di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, meresahkan pelaku wisata. Mereka khawatir keelokan dan kekayaan kawasan Raja Ampat rusak oleh aktivitas penambangan nikel.

Pelaku Usaha Wisata Selam Indonesia atau Indonesia Divetourism Corporate Affiliation (IDCA) sudah menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Prabowo Subianto pada 8 Juni 2025, bertepatan dengan Hari Laut Sedunia (International Ocean Day). Dalam surat terbuka tersebut, Ketua Umum IDCA, Ebram Harimurti, menyuarakan keresahan pelaku wisata selam atas potensi kerusakan ekologis yang ditimbulkan oleh pertambangan nikel di Raja Ampat.

Menurut Ebram, aktivitas industri ekstraktif di kawasan dengan nilai ekologis dan konservasi setinggi Raja Ampat merupakan kontradiksi besar. “Keberadaan industri ekstraktif seperti tambang nikel menjadi sangat kontradiktif di kawasan dengan nilai ekologis setinggi ini,” ujarnya.

Ebram juga mengingatkan bahwa kekuatan pariwisata Indonesia bersandar pada kelestarian alam. Information Kementerian Pariwisata menunjukkan lebih dari 60 persen daya tarik wisata Indonesia berasal dari kekayaan alam. Pendekatan konservasi berbasis masyarakat dan pengembangan ekowisata bahkan terbukti mampu memberi manfaat ekonomi tanpa merusak lingkungan, seperti yang ditunjukkan studi organisasi pembangunan dunia (UNDP) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Ada empat tuntutan yang diajukan IDCA kepada presiden, yakni:

  1. Mencabut izin tambang secara permanen di seluruh kawasan Raja Ampat, bukan hanya menangguhkan sementara.
  2. Memperluas zona perlindungan, termasuk zona larangan (no take zone) dan zona penyangga di sekitar Kawe dan Wayag.
  3. Mendorong ekonomi hijau dan ekowisata berbasis masyarakat lokal sebagai alternatif pembangunan berkelanjutan.
  4. Melibatkan masyarakat adat dan nelayan lokal dalam pengelolaan kawasan untuk memastikan keberlanjutan dan inklusivitas.

Ancaman Ekologis Nyata

Menurut knowledge UPTD BLUD Pengelolaan Kawasan Perairan Raja Ampat, kawasan konservasi mencakup sekitar 2.000.109 hektare dengan tujuh zona perlindungan penting seperti Selat Dampier, Misool, dan Fam. Meskipun aktivitas tambang tidak secara langsung terjadi di zona inti perlindungan, lokasi tambang berada pada zona penyangga seperti Pulau Kawe dan Wayag, house penting bagi migrasi satwa laut, termasuk manta ray di Eagle Rock.

IDCA menyoroti, aktivitas tambang berpotensi menimbulkan sedimentasi dari tumpukan lumpur yang terbawa arus laut, menutup sinar matahari ke bawah permukaan laut, serta merusak terumbu karang dan habitat-habitat krusial. “Fakta-fakta tersebut sangat mengerikan. Reputasi Indonesia sebagai destinasi diving kelas dunia bisa hancur,” ujar Ebram.

Nilai Ekonomi Wisata Lebih Berkelanjutan
Tahun 2024 mencatat sekitar 30 ribu wisatawan mengunjungi Raja Ampat, dengan 70 persen merupakan wisatawan mancanegara. Kunjungan ini menghasilkan sekitar Rp 150 miliar Pendapatan Asli Daerah (PAD) untuk Kabupaten Raja Ampat setiap tahun. Nilai ekonomi ini belum termasuk dampak tidak langsung dari sektor lain yang turut tumbuh karena pariwisata.

“Nilai ekonomi Raja Ampat jauh lebih besar dibandingkan angka-angka yang tercatat di permukaan,” tambah Ebram, sembari menegaskan bahwa tambang bukan satu-satunya jalan menuju pembangunan ekonomi.

Greenpeace Indonesia juga menyoroti aktivitas tambang di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran, yang secara hukum tidak layak dijadikan lokasi pertambangan karena termasuk pulau kecil yang dilindungi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Analisis Greenpeace menunjukkan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami telah rusak, mengancam terumbu karang dan ekosistem laut Raja Ampat.

Riri Rahayu, Novali Panji Nugroho, Dinda Shabrina, dan Raden Putri Alpadillah Ginanjar turut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan Editor: Kenapa Tambang Ilegal Sulit Diberantas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *