Alasan IPB Mengubah Fakultas Teknologi Pertanian Menjadi Sekolah Teknik
TEMPO.CO, Jakarta – Institut Pertanian Bogor atau IPB secara resmi telah mengubah Fakultas Teknologi Pertanian (Fateta) menjadi sekolah teknik. Perubahan itu tertuang dalam Surat Keputusan Rektor IPB No. 444 Tahun 2024 tentang Perubahan Pengelolaan Seluruh Program Studi Pada Fakultas Teknologi Pertanian ke Sekolah Teknik, IPB. Aturan itu disahkan oleh rektor pada 27 Desember 2024.
Meski telah resmi berubah menjadi sekolah teknik, nama Fateta masih belum sepenuhnya diganti. Mulai dari gedung, arsip hingga administrasi masih bernama Fateta. Begitu pula jabatan yang diemban Slamet Budijanto, Dekan Fateta IPB. Atribusinya belum berubah menjadi dekan sekolah teknik IPB.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Slamet membenarkan perubahan Fateta menjadi sekolah teknik. Ia juga menyebut sekolah teknik telah beroperasi sejak 2024. Sebelum berubah menjadi sekolah teknik, Fateta memiliki empat prodi untuk strata-1 (S1), yakni Teknologi Pertanian dan Biosistem, Teknologi Pangan, Teknik Industri Pertanian dan Teknik Sipil dan Lingkungan. Kini, setelah resmi menjadi sekolah teknik, prodinya bertambah dua, yakni Teknik Mesin dan Teknik Kimia.
Meski SK rektor soal perubahan itu telah keluar, Slamet membantah Fateta dibubarkan. Menurut dia, Fateta masih ada dan masih menyelenggarakan belajar mengajar seperti biasa. “Fateta masih ada, belum bubar. Tetapi di sisi lain sekolah teknik juga ada,” ujarnya.
Perubahan nama Fateta menjadi sekolah teknik itu menulai pro dan kontra dari kalangan mahasiswa, dosen hingga alumni. Namun, Slamet menjelaskan alasan mengubah nama Fateta menjadi sekolah teknik karena mayoritas prodi di Fateta merupakan prodi yang fokus pada teknik. Dia juga menyebut ada kebutuhan pasar atau peminat jurusan teknik. “Ke depan yang banyak itu dicari dari IT, engineering, data analisis, itu kompetensi yang diinginkan,” kata Slamet.
Meski begitu, alasan tersebut tak diterima oleh mahasiswa, terutama dari mahasiswa prodi Teknik Pangan. Caesa salah satunya. Dia mengaku khawatir atas perubahan nama fakultasnya itu.
Sejak masuk, Caesa ingin mendalami soal teknologi pangan, khususnya yang berkaitan dengan inovasi pangan. Namun, setelah ada perubahan mendadak dan tanpa dialog dengan mahasiswa, Caesa khawatir materi kuliah yang harusnya didalami oleh teknologi pangan, justru berganti arah menjadi teknik pangan. “Teknik pangan itu lebih mengurusi alat, tapi kalau teknologi pangan itu ke food innovation. Jadi banyak yang enggak setuju dari jurusan aku mahasiswanya. Sampai alumni teknologi pangan pun banyak yang enggak setuju,” kata dia.
Dia juga menaruh harapan besar menjadi ilmuwan yang paham soal dunia pangan lewat prodi yang sudah dipilihnya itu. Caesa juga memilih prodi Teknologi Pangan IPB lantaran yakin prodi itu salah satu yang terbesar dan tertua. “Aku merasa ini satu-satunya teknologi pangan terbesar dan paling bagus di Indonesia. Kalau diubah, berarti nanti enggak ada lagi dong?” ujarnya.
Caesa juga sudah merasakan perubahan arah materi ajar di prodinya itu. Dia merasa saat ini banyak bahan ajar dari dosen lebih mengarahkan mahasiswa ke teknik pangan. “Sekarang saja kami sudah mulai belajar soal alat-alat. Cara kerja alat bagaimana. Memang belum sedalam anak teknik pangan. Tetapi, kan, mungkin saja kalau sudah berubah nama jadi sekolah teknik, akan lebih belajar alat-alat ketimbang mempelajari mekanisasi biologis suatu pangan,” ujarnya.
Beberapa mahasiswa dari prodi lain, seperti Faiz dan Safira dari prodi Teknik Industri juga keberatan atas keputusan rektor yang mengubah nama Fateta menjadi sekolah teknik. Menurut Faiz, ada banyak catatan yang perlu diperhatikan sebelum mengubah nama Fateta menjadi sekolah teknik. “Salah satunya soal transparansi itu. Mahasiswa belum dilibatkan dalam diskusi sebelum memutuskan untuk mengganti nama,” katanya.
Safira juga menyayangkan keputusan sepihak dari rektorat dan dekanat. Meski ia tak menolak kebijakan itu, Safira menilai ada beberapa hal yang perlu diperhatikan rektorat dan dekanat sebelum memutuskan mengubah Fateta menjadi sekolah teknik. “Catatan dari aku, misalnya fasilitas dan sarana prasarana untuk sekolah teknik itu belum mumpuni,” kata dia.
Safira juga menyinggung laboratorium khusus untuk sekolah teknik masih minim. Apalagi sekolah teknik menambah dua prodi baru, yakni Teknik Kimia dan Teknik Mesin. “Jadi menurutku secara kesiapan fasilitasnya belum cukup. Karena dari dekan sendiri bilang laboratoriumnya itu gabung sama prodi-prodi lain,” ujarnya.
Dia menyarankan sebaiknya sebelum memutuskan untuk mengubah Fateta menjadi sekolah teknik secara langsung, dekan dan rektorat perlu menyiapkan berbagai fasilitas yang mendukung untuk menunjang mahasiswa belajar.
Rencana perubahan struktur Fateta menjadi sekolah turut menuai respons dari sejumlah tokoh yang punya sejarah panjang dengan fakultas tersebut. Mereka menegaskan pentingnya mempertahankan Fateta sebagai rumah besar pengembangan teknologi pertanian Indonesia yang telah terbukti kontribusinya sejak 1964.
Mantan Rektor IPB, Aman Wirakartakusumah, sekaligus pendiri Fateta mengatakan bahwa eksistensi fakultas ini tak bisa dilepaskan dari strategi pembangunan nasional. “Sejak awal, Fateta hadir untuk mendukung semua mata rantai sektor pertanian, dari hulu sampai hilir. Teknologi dan keilmuan yang dikembangkan di dalamnya menyokong isu pangan, energi, gizi, hingga kualitas hidup generasi muda menuju Indonesia Emas 2045,” ujar Aman.
Aman juga menekankan Fateta merupakan wujud hibrida antara ilmu teknik, ilmu alam, manajemen, dan teknologi. Menurutnya, membubarkan fakultas ini sama saja dengan mencabut roh teknologi dari pembangunan pertanian Indonesia.
Nada lebih emosional disampaikan oleh Florentinus Gregorius Winarno, mantan Dekan Fateta IPB. Ia menyebut Fateta telah melahirkan dan membesarkan insan-insan pertanian tangguh. Dia amat keberatan apabila Fateta diganti menjadi sekolah teknik. “Kalau ditusuk jantung saya, darahnya darah Fateta. Saya bangun Fateta dari yang tidak dikenal, sekarang jadi mendunia,” ucapnya. Winarno juga mengisahkan perannya dalam pendirian 17 STM Pembangunan Pertanian yang dulu berada di bawah binaan Fateta. Kini, ia menyayangkan hubungan historis itu nyaris terputus.
Menurutnya, perubahan struktur institusi tidak semestinya dilakukan dengan menghapus sejarah. “Almamater itu, artinya ibu yang menyusui. Kalau sudah tua, bukan berarti harus diganti dengan ibu muda,” katanya menyindir rencana penggantian Fateta dengan Sekolah Teknik.
Pilihan Editor: Mandeknya Regenerasi Petani