Reaksi Masyarakat Sipil atas Pernyataan Menteri Fadli Zon
TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Kebudayaan Fadli Zon kembali menjadi soroton publik usai mengatakan peristiwa pemerkosaan massal pada 1998 sebagai sebatas rumor. Pernyataan itu dia sampaikan dalam wawancara mengenai proses penulisan ulang sejarah bersama jurnalis senior IDN Occasions, Uni Zulfiani Lubis.
Pace telah diizinkan oleh Uni Lubis untuk mengutip pernyataan tersebut. Dalam wawancara itu, Fadli menyatakan bahwa penulisan ulang sejarah bertujuan untuk mengklarifikasi berbagai rumor yang terlanjur dianggap sebagai fakta. Politikus Partai Gerindra itu kemudian mencontohkan kasus pemerkosaan massal 1998 sebagai salah satu rumor yang, menurutnya, perlu diluruskan.
Pernyataan Fadli Zon memantik reaksi keras dari masyarakat sipil. Pernyataan tersebut dianggap menafikan fakta yang terjadi.
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas
Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas menilai pernyataan Fadli sebagai bentuk manipulasi terhadap masyarakat Indonesia dan meremehkan kekerasan atas perempuan. “Kami menilai pernyataan tersebut merupakan bentuk manipulasi, pengaburan sejarah, serta pelecehan terhadap upaya pengungkapan kebenaran atas tragedi kemanusiaan yang terjadi,” kata perwakilan koalisi, Jane Rosalina Rumpia, melalui keterangan tertulis pada Sabtu, 14 Juni 2025.
Menurut Jane, pernyataan Fadli Zon justru melenyapkan jejak-jejak pencarian fakta mengenai kasus-kasus pemerkosaan yang terjadi 1998. Pemerintah melalui Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah memiliki dokumentasi dan hasil penyelidikan. TGPF mencatat pada 1998 adanya kekerasan seksual yang menargetkan perempuan, khususnya perempuan Indonesia- Tionghoa.
“TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, yang mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama,” ucap Ita, Kepala Divisi Pemantauan Impunitas di KontraS.
Tak hanya itu, Jane menilai pernyataan Fadli turut mengecilkan makna sejarah pembentukan Komnas Perempuan yang lahir sebagai respons atas tragedi tersebut. “Menghapus fakta sejarah ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap korban dan perjuangan mereka,” kata Jane.
Aliansi Perempuan Indonesia
Aliansi Perempuan Indonesia mengecam pernyataan Fadli Zon. Kelompok yang terdiri dari berbagai asosiasi anti-kekerasan terhadap perempuan ini menilai Fadli Zon telah mengingkari penderitaan korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998.
Dalam konferensi pers bold pada Sabtu, 14 Juni 2025, perwakilan Aliansi Perempuan Indonesia, Siti Umul Khoir, menyebut pernyataan Fadli sebagai bentuk kekerasan baru yang menolak mengakui kebenaran. “Ketika Menteri Fadli Zon bilang itu cuma rumor, itu bukan sekedar salah bicara, itu adalah bentuk kekerasan baru yang menolak mengakui kebenaran,” kata Siti
Aliansi Perempuan Indonesia juga menyoroti, peristiwa pemerkosaan massal 1998 bukanlah isapan jempol, melainkan telah diakui sebagai fakta sejarah oleh pemerintah BJ Habibie melalui pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Pernyataan Fadli dinilai sebagai bentuk penyangkalan pahitnya sejarah masa lalu.
Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI)
Kemarahan turut disuarakan oleh Ikatan Pemuda Tionghoa Indonesia (IPTI). Perwakilan IPTI, Diyah Wara Restiyati, mengenang suasana mencekam yang ia alami sebagai etnis Tionghoa pada kerusuhan 1998. Saat itu, Diyah baru lulus Sekolah Menengah Atas dan mengingat betul bagaimana etnisnya diperlakukan semena-mena.
“Dalam kehidupan sehari-hari kami sudah didiskriminasi, sudah mengalami kekerasan hanya karena kami Tionghoa. Dan seringkali tidak dianggap sebagai bagian dari bangsa Indonesia,” ujar Diah. “Jadi apa yang disampaikan oleh pemerintah lewat Menteri Kebudayaan Fadli Zon itu benar-benar sangat melukai kami.”
Discussion board Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia
Respons serupa juga datang dari seorang penyintas kekerasan seksual yang aktif di Discussion board Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia, Tuba Fallopi. Dia mengatakan pernyataan Fadli sebagai pemicu yang mengingatkan trauma. “Dan dalam waktu sekejap, aku juga langsung membayangkan bagaimana luka, bagaimana sakitnya, bagaimana amarahnya daripada kawan-kawan penyintas di 1998,” ujar Tuba Fallopi.
Tuba menilai pernyataan tersebut menunjukkan kegagalan negara dalam memahami pengalaman perempuan, apalagi berempati terhadapnya. Ia meragukan komitmen pemerintah dalam memulihkan hak-hak korban jika memahami sejarah kelam pun masih gagal dilakukan.
Dian Rahma Fika dan Sultan Abdurrahman turut berkontribusi dalam artikel ini.
Pilihan Editor: Akar Masalah Kekerasan di Papua Terus Terjadi