Sejarah Komnas Perempuan yang Lahir karena Pemerkosaan Massal 1998
TEMPO.CO, Jakarta – Pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon soal pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa pada Mei 1998 sebagai rumor tanpa bukti memantik kemarahan publik, terutama Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), para aktivis perempuan, dan penyintas kekerasan seksual.
Komnas Perempuan memberi tanggapan dengan mengingatkan bahwa kekerasan seksual yang terjadi pada Mei 1998 secara resmi telah diakui negara sebagai bagian dari pelanggaran HAM berat. Selain itu, tragedi tersebut yang menjadi dasar pembentukan Komnas Perempuan sebagai tindak lanjut pemerintah.
Sejarah Berdirinya Komnas Perempuan
Dilansir dari laman resmi Komnas Perempuan, terbentuknya Komnas Perempuan tak bisa dilepaskan dari bara reformasi pascakerusuhan Mei 1998. Saat itu, publik dikejutkan oleh masifnya laporan kekerasan seksual terhadap perempuan, khususnya dari etnis Tionghoa.
Gerakan Masyarakat Anti Kekerasan terhadap Perempuan merespons tragedi itu dengan menggagas kampanye tanda tangan bertajuk Signatory Marketing campaign. Dalam dua pekan, 4.000 tanda tangan terkumpul yang berasal dari pemuka agama, akademisi, tokoh masyarakat, hingga aktivis perempuan.
Presiden B.J. Habibie kemudian mengundang sejumlah tokoh perempuan untuk berdialog. Dalam audiensi itu, Habibie mengakui adanya kekerasan seksual yang dialami perempuan etnis Tionghoa dan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menyelidiki kasus tersebut.
TGPF menyimpulkan adanya 92 kasus kekerasan seksual yang terjadi selama kerusuhan Mei di Jakarta, Medan, dan Surabaya. Dengan rincian sebanyak 53 kasus pemerkosaan disertai penganiayaan, 10 penyerangan seksual, dan 15 pelecehan seksual. Fakta ini menjadi dasar pijakan politik Presiden Habibie untuk mengambil langkah lebih konkret.
Saparinah Sadli, salah satu tokoh perempuan, diminta menyusun usulan tindak lanjut. Ia mendorong pembentukan lembaga independen khusus perempuan, alih-alih hanya menitipkan isu perempuan ke kementerian. Usulan ini kemudian dijawab lewat Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998, yang menandai lahirnya Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
Pembentukan Nama
Sebelum nama Komnas Perempuan disepakati, sempat muncul usulan agar lembaga ini dinamai “Komisi Nasional Perlindungan Wanita” dan berada di bawah Menteri Urusan Wanita. Namun gagasan ini ditolak. Para aktivis, termasuk Sadli, menginginkan lembaga yang independen, bukan titipan kementerian, bukan pula perpanjangan tangan kekuasaan. Bahkan usulan agar Ibu Negara masuk ke dalam jajaran kepengurusan pun ditolak mentah-mentah.
Akhirnya, nama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempua yang kemudian dikenal sebagai Komnas Perempuan dipilih sebagai simbol pernyataan sikap yang tegas menolak kekerasan berbasis gender sekaligus menegaskan independensinya dari kepentingan politik negara.
Pada 9 Oktober 1998, lewat Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998, Komnas Perempuan resmi berdiri. Di dalamnya terpatri mandat untuk bekerja secara mandiri dan independen yang mengedepankan kepentingan dan suara perempuan.
Bagi aktivis Ita F. Nadia, sejarah Komnas Perempuan adalah bagian dari sejarah panjang gerakan perempuan Indonesia. “Kami hanya mengantar ini menjadi ruang di mana perempuan memperoleh kembali identitasnya,” kata Ita dalam perayaan ulang tahun Komnas Perempuan ke-15, dikutip dari laman resmi Komnas Perempuan. Bagi dia, lembaga ini merupakan tempat di mana para penyintas menyuarakan pengalaman dan merekonstruksi bahasa perjuangan mereka sendiri.