Kisah Guru SD di Klaten Tolak Gratifikasi saat Pembagian Rapor: Tak Mau Ortu Tekor
TEMPO.CO, Jakarta – Menjelang pembagian rapor di SDN 1 Tirtomarto, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, sebuah spanduk besar terpajang mencolok di halaman sekolah bertuliskan “Terima rapor enggak perlu tekor”. Spanduk itu memuat pesan agar orang tua tak perlu repot-repot memberi hadiah untuk para guru di momentum terima rapor anak murid.
Spanduk itu juga bukan sekadar formalitas. Bagi Erwin Rahayu Setiawan, guru kelas IV sekaligus wali kelas, pesan itu telah menjadi prinsip hidup. “Seribu rupiah pun tetap gratifikasi kalau merujuk pengertian kamus besar bahasa Indonesia,” kata Erwin, saat dihubungi Rabu, 18 Juni 2025.
Di tengah budaya ‘terima kasih’ yang biasanya dibungkus dalam bentuk makanan, sembako, hingga amplop dari wali murid, Erwin memilih jalan berbeda. Ia kerap mendapati wali murid membawa hasil panen mereka untuk diberikan kepada guru di sekolah, terutama saat penerimaan rapor atau sistem penerimaan murid baru (SPMB).
Erwin saklek jika berurusan dengan gratifikasi. Dia bercerita pernah mendapati kue ulang tahun dari anak muridnya. Kue itu sudah tergeletak di atas meja kerjanya. “Saya tidak tahu, tiba-tiba sudah dipotong dan dibagi. Orang tua bilang itu tanda syukur anaknya ulang tahun,” katanya. Tapi ia tetap menegaskan itu pun tetap gratifikasi.
Alih-alih memarahi, ia memilih edukasi. Ia sampaikan kepada wali murid, “silakan berbagi dengan teman-teman. Tapi ndak perlu memberi kepada guru. Kami memang tugasnya mengajar, bukan menerima imbalan.”
Langkah Erwin tak berdiri sendiri. Beberapa waktu lalu, ia mengikuti bimbingan teknis dari inspektorat daerah tentang gratifikasi di dunia pendidikan. Dari situ, benih kesadaran ia sebar ke sesama guru. “Saya cerita, ternyata bukan cuma di sekolah saya, di tempat lain juga begitu,” ujarnya.
Cerita itu menjalar, lalu direspons Dinas Pendidikan Klaten dengan imbauan resmi agar sekolah memasang spanduk tolak gratifikasi, terutama menjelang pembagian rapor. Di sekolah yang terletak di kampung, kata Erwin, pemberian hasil panen adalah hal biasa. Buah-buahan seperti mangga, kelengkeng, hingga jambu, sering dibawa orang tua murid sebagai bentuk rasa terima kasih.
Mulanya Erwin memang tidak langsung menolak. “Sebenarnya, kalau saya sendiri panen, saya juga bagi-bagi ke murid. Tapi kalau dari wali murid, saya selalu bilang ‘kalau bisa jangan dibiasakan’. Ini rawan sehingga jadi kebiasaan tidak sehat.”
Erwin mengakui, penolakan semacam ini kadang membuatnya serba salah. Tapi ia lebih memilih menjaga integritas. “Yang saya takutkan, kalau satu orang tua memberi, yang lain jadi iri. Nanti pikirannya macam-macam. Kita tidak minta, tapi dianggap pilih kasih.”
Dengan memasang spanduk besar di halaman sekolah, Erwin tak perlu lagi merasa tak enak hati ketika harus menjelaskan soal gratifikasi ke wali murid. “Setelah mereka melihat, diharapkan orang tua mengerti,” ujarnya.
Bagi Erwin, gerakan ini bukan semata soal uang atau pemberian barang. Tapi tentang menyelamatkan martabat guru dari potensi konflik kepentingan. “Kalau dari awal sudah diajari memberi, nanti jadi terbiasa. Anak-anak jadi pikir guru bisa dibeli,” katanya.
Ia berharap dengan sosialisasi penolakan gratifikasi di sekolah, orang tua murid jadi lebih ringan dan tidak perlu mengeluarkan ‘biaya tambahan’. Apalagi saat momentum terima rapor atau peringatan hari guru tiba. Bahkan, Erwin bilang, sekarang banyak wali murid yang berterima kasih cukup lewat pesan teks atau doa. “Dan itu jauh lebih tulus,” ujarnya.