Logo

PP Muhammadiyah Minta Kapolri Bebaskan Mahasiswa yang Ditangkap saat Demo Hari Buruh


TEMPO.CO, Yogyakarta – Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo memerintahkan anak buahnya di sejumlah daerah untuk membebaskan mahasiswa yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka dalam demonstrasi Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025.

Pilihan editor: Agar Ekspansi Transjakarta Tak Jadi Beban Subsidi

Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ridho Al-Hamdi mengatakan demonstrasi merupakan bagian dari cara mahasiswa menyuarakan aspirasi publik di tengah berbagai persoalan sosial politik di Indonesia.

Aparat kepolisian, menurut dia, seharusnya mengajak mahasiswa berdiskusi bila punya pendapat yang berbeda, bukan malah melakukan tindakan kekerasan dengan cara menangkap, menjadikan mereka tersangka, dan menahan sebagian mahasiswa.

Unjuk rasa merupakan kebebasan berekspresi dan cara mahasiswa mencintai republik. “Atas nama PP Muhammadiyah, kami minta Presiden Prabowo dan Kapolri membebaskan mahasiswa,” kata dia saat mengisi diskusi publik Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Bunderan UGM pada Sabtu, 21 Juni 2025.

Diskusi bertajuk Bulaksumur Menegur merupakan bagian dari protes terhadap represi aparat polisi dan aksi solidaritas terhadap mahasiswa yang menjadi tersangka dan sebagian masih ditahan. Dalam diskusi itu, BEM UGM juga mendatangkan sejumlah mahasiswa yang menjadi korban kekerasan aparat polisi dan tentara dalam sejumlah aksi unjuk rasa. Mereka di antaranya datang dari Malang, Solo, Semarang, dan Palembang.

Mahasiswa tersebut memberikan kesaksian ihwal kekerasan yang mereka alami. Salah satunya adalah Rambo, mahasiswa Universitas Brawijaya. Aparat menggebuk Rambo menggunakan benda tumpul yang menyebabkan tulang rahangnya patah dan gigi bagian atas dan bawah copot.

Rambo merupakan salah satu demonstran penentang Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia di depan Gedung DPRD Kota Malang pada Maret lalu.

Seusai diskusi, belasan mahasiswa yang datang dari berbagai kampus dan berbagai kota menyatakan dukungannya terhadap pembebasan mahasiswa. Mereka menyerukan tagar bebaskan kawan kami yang juga bermunculan di akun media sosial BEM UGM dan berbagai gerakan masyarakat sipil lainnya.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa UGM Tiyo Ardianto mengatakan pernyataan itu bagian dari menyuarakan sikap sebagai manusia yang dilahirkan merdeka dan melawan represi aparat. Menurut dia, demonstrasi bagian dari hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang mendapat jaminan konstitusi.

Tindakan aparat bertentangan dengan keadilan, demokrasi, dan melanggar hak asasi manusia. “Kami menentang penindasan terhadap mahasiswa dan rakyat Indonesia,” kata dia.

BEM UGM memprotes kekerasan aparat berupa penangkapan sewenang-wenang mahasiswa, pemukulan, penganiayaan, pengeroyokan, pelecehan seksual, penetapan sebagai tersangka, penahanan, intimidasi, dan teror. “Tuduhan mahasiswa anarki itu seperti jampi-jampi meloloskan kriminalisasi,” kata Tiyo.

BEM UGM juga telah mengirimkan surat kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk datang pada acara diskusi itu. Tapi, Kapolri Listyo Sigit tak datang. Di tengah diskusi tiba-tiba BEM mendapatkan informasi dari petugas satuan keamanan UGM bahwa Polda DIY mengirim Direktur Reserse Kriminal Khusus Wirdhanto Hadicaksono dan Direktur Intelijen dan Keamanan Wachyu Tri Budi Sulistiyono.

Kepada peserta diskusi publik, Tiyo menawarkan kesempatan agar perwakilan Polda DIY bicara. Tapi, sebagian peserta menolak. Diskusi kemudian berlanjut dan hujan deras mengguyur Bunderan UGM. Peserta kemudian pindah menuju selasar Wisma UGM.

Polisi menangkap dan menetapkan mahasiswa sebagai tersangka dengan dugaan menimbulkan kericuhan dalam unjuk rasa Hari Buruh Internasional atau Might Day di sejumlah daerah di antaranya Semarang, Bandung, dan Jakarta.

Di Semarang, Jawa Tengah, misalnya, delapan mahasiswa menjadi tersangka. Mereka ditahan di Kantor Kepolisian Resor Kota Besar Semarang dan Rumah Tahanan Semarang. Belakangan, polisi melepas enam mahasiswa yang ditahan di rutan. Statusnya masih tersangka, menjadi tahanan kota, dan wajib lapor polisi. Adapun, dua mahasiswa masih menjalani tahanan di rutan.

Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Diponegoro Aufa Atha Ariq Aoraqi yang datang pada diskusi itu menyatakan polisi menangkap mereka secara sewenang-wenang pada 13 Mei 2025 di Kecamatan Tembalang dan langsung menetapkan sebagai tersangka. Keduanya kemudian mendekam di markas Kepolisian Resor Kota Besar Semarang.

Sepuluh hari kemudian, polisi memindahkan mereka ke rutan, menyusul enam mahasiswa lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut Aufa, selama mendekam di markas Kepolisian Resor Kota Besar Semarang, delapan mahasiswa mengalami perlakuan buruk dari polisi. Mereka mendapatkan pukulan di bagian tangan, punggung, dan perut. Dua mahasiswa itu menunjukkan bekas pukulan polisi kepada Aufa.

Selain itu, polisi secara khusus melarang dua mahasiswa itu buang air kecil ke kamar mandi. Keduanya terpaksa kencing di dalam botol yang disediakan polisi di dalam sel tahanan.

Di rutan, delapan mahasiswa itu wajib menjalani masa pengenalan lingkungan. Kepala mereka digunduli. Aufa dua kali mengunjungi dua mahasiswa yang ditahan. Pada kunjungan pertama, menurut Aufa, dua mahasiswa itu terlihat jauh lebih kurus.

Keduanya menyatakan Ajun Inspektur Polisi Dua Robiq Zaenudin, anggota Kepolisian Resor Kota Besar Semarang yang menembak siswa SMKN 4 Semarang tiba-tiba menghampiri mereka. Robiq saat ini menjalani tahanan di rutan. “Mereka ketakutan karena ada ancaman,” ujar Aufa.

Karena merasa terancam, Aufa kemudian melaporkan situasi dua mahasiswa tersebut kepada kepala rutan. Keduanya kemudian menempati sel khusus dan mendapatkan pengawasan intensif dari petugas rutan.

Sebelumnya, Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Hubungan Masyarakat (Humas) Polri, Komisaris Besar (Kombes) Erdi A. Chaniago tak merespons telepon maupun pesan WhatsApp yang dikirim Pace ihwal represi itu. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Komisaris Besar Artanto, juga belum menanggapi.

Jamal Abdun Nashr berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan editor: MAN 1 Tegal Klarifikasi Isu Keluarkan Siswa karena Baju Renang

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *