Logo

Refleksi HUT Jakarta, LBH Jakarta Soroti 5 Masalah Kronis Ibu Kota


TEMPO.CO, Jakarta – Perayaan ulang tahun Jakarta ke-498 yang jatuh pada 22 Juni 2025 mengusung tema “Jakarta Kota International dan Berbudaya”. Namun di balik semaraknya perayaan, Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Jakarta menilai masih banyak persoalan mendasar yang belum dituntaskan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Pramono Anung dan Rano Karno (Pram-Doel).

LBH Jakarta mencatat sedikitnya lima persoalan utama yang bersinggungan langsung dengan pemenuhan hak-hak dasar warga. Direktur LBH Jakarta M. Fadhil Alfathan Nazwar menyebut ulang tahun ini seharusnya menjadi momen refleksi dan evaluasi, bukan sekadar selebrasi.

“Dengan beragam persoalan struktural yang belum dijawab, sulit membayangkan Jakarta sebagai kota international yang juga berbudaya. Gagasan kota berkeadilan masih jauh dari nyata,” kata Fadhil dalam keterangan tertulis, Ahad, 22 Juni 2025.

Isu pertama yang disorot adalah soal hak atas tempat tinggal. LBH menilai pendekatan Pemprov dalam menangani backlog perumahan masih bertumpu pada style bisnis konvensional. “Hunian yang dibangun dengan konsep TOD (Transit Orientated Building) hanya menjadi komoditas investasi, bukan solusi untuk warga berpenghasilan rendah,” ujarnya.

Salah satu kasus yang kembali mencuat adalah soal Kampung Susun Bayam (KSB). Meski kunci unit sempat diserahkan secara simbolis, warga korban penggusuran proyek Jakarta World Stadium masih belum seluruhnya dilibatkan. “Sebagian besar warga yang dulu tinggal di kampung tersebut masih terombang-ambing di Rusunawa Nagrak dan Rorotan,” ujar Fadhil.

LBH juga menyoroti belum dicabutnya Pergub 207/2016 tentang penertiban tanpa proses peradilan. “Aturan ini terus membayangi ruang hidup warga, dan Pemprov terlihat pasif terhadap tuntutan pencabutannya,” katanya.

Krisis Iklim dan Polusi Udara: Jakarta Masih Terpolutif

Masalah lingkungan menjadi sorotan kedua. Meski Mahkamah Agung telah memenangkan gugatan warga terhadap pencemaran udara (Putusan MA No. 2560 Ok/Pdt/2023), LBH menyebut belum ada langkah konkret dari Pemprov DKI.

“Standing mutu udara Jakarta masih di bawah ambang batas sehat. Penanganan yang dilakukan belum berbasis bukti ilmiah dan tidak transparan terhadap publik,” kata Fadhil.

Rencana pembangunan tanggul laut raksasa atau Large Sea Wall juga dikritik karena berpotensi mengorbankan masyarakat pesisir. Di Pulau Pari, warga menghadapi konflik karena pembangunan cottage dan dermaga wisata yang merusak ekosistem laut, namun dibiarkan oleh Pemprov.

Informalisasi dan Hak Pekerja

LBH mencatat bahwa lebih dari 1,8 juta pekerja di Jakarta saat ini masuk kategori casual. Namun, belum terlihat inisiatif kuat dari Pemprov untuk memberikan perlindungan menyeluruh bagi mereka.

“Pekerja casual justru terancam penggusuran atas ruang kerja mereka. Belum ada jaminan hukum yang melindungi penghidupan mereka,” ujar Fadhil.

Khusus untuk pengemudi ojek bold, pencatatan serikat masih menemui hambatan. LBH mendorong agar Dinas Ketenagakerjaan DKI menjamin kemudahan pengakuan organisasi pekerja non-standar.

Ketiadaan Perda Bantuan Hukum

Jakarta yang disebut-sebut sebagai pelopor bantuan hukum bagi warga miskin justru belum memiliki payung hukum berupa Perda. Padahal, draf Raperda itu sudah bergulir sejak pemerintahan sebelumnya.

“Ketiadaan Perda ini memperlihatkan ketidaksungguhan Pemprov dalam menjamin akses keadilan, terutama bagi kelompok rentan dan korban kekerasan,” kata Fadhil.

Transportasi Publik Tak Ramah Disabilitas dan Perempuan

Isu terakhir yang disorot adalah minimnya ruang aman dalam sistem mobilitas perkotaan. Berdasarkan information Biro Pemerintahan Pemprov DKI, lebih dari 2.000 aduan warga masuk soal kondisi jalan. Akses transportasi publik juga belum inklusif.

“Halte, stasiun, terminal masih banyak yang tidak ramah bagi penyandang disabilitas. Kekerasan seksual di transportasi publik pun masih marak,” kata Fadhil, mengutip information Komnas Perempuan yang menyebut transportasi umum sebagai salah satu lokasi tertinggi pelecehan.

Kondisi pejalan kaki pun disebut terpinggirkan. Trotoar yang tersedia hanya mencakup 8,7 persen dari general ruas jalan sepanjang 7.000 kilometer di Jakarta. Proyek infrastruktur seperti MRT dan LRT justru menggerus ruang pejalan kaki.

LBH Jakarta mendesak agar pemerintah daerah menjadikan perayaan ulang tahun ini sebagai panggilan untuk berbenah, bukan hanya ajang pertunjukan. “Kami mempertanyakan: apakah Jakarta sungguh kota international dan berbudaya jika masih membiarkan pelanggaran hak warga terus berlangsung?” tutur Fadhil.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *