Logo

Dasco Respons Putusan MK soal Pemisahan Pemilu


TEMPO.CO, Jakarta — Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Sufmi Dasco Ahmad menyatakan menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Meski putusan itu ultimate dan mengikat, Dasco mengatakan putusan itu cukup mengagetkan.“Ini juga membuat pekerjaan rumah bagi pembuat undang-undang karena rekayasa konstitusi yang dimaksud oleh MK tidak mudah,” kata Dasco melalui pesan suara kepada Pace pada Jumat, 27 Juni 2025.

Ketua Harian Partai Gerindra itu sebelumnya juga mengatakan, DPR perlu mengakomodasi rekayasa konstitusi putusan MK soal presidential threshold. “Itu bukan perkara yang mudah dan memakan waktu yang tidak cepat,” kata Dasco.

MK menghapus presidential threshold 20 persen. Putusan dibacakan pada Kamis, 2Januari 2025. Presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara atau kursi di parlemen yang harus dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemilihan umum.

Dasco mengatakan, dirinya bersama DPR akan berembug dulu dengan fraksi sebelum membuat keputusan membahas revisi Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pilkada. “Apakah dengan adanya dua putusan MK yang harus melakukan rekayasa konstitusi itu, kami perlu percepatan pembahasan atau bagaimana?” ujar dia. 

Menurut Dasco, pemilu serentak memang menimbulkan sejumlah masalah selama pelaksanaan. Dia menyoroti saksi hingga petugas yang kelelahan dalam proses penghitungan surat suara. hal tersebut tentunya menjadi catatan dalam penyelenggaraan pemilihan. Sebab kesalahan pada tahap ini bisa memunculkan sesuatu yang disengaja atau tidak yang kemudian mencederai proses demokrasi.

Putusan MK pada Kamis, 26 Juni 20205 mengabulkan sebagian permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem. Perludem mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada ke MK. Perludem meminta MK memutus Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu sepanjang frasa “pemungutan suara dilaksanakan secara serentak”, karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum.

Dalam amar putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu lokal dipisahkan dari pemilu nasional. MK juga memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional. 

Menurut MK, pemilu nasional mencakup pemilihan anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah atau pilkada. Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.

Senyampang putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal yang baru, MK merekomendasikan pembentuk undang-undang memutuskan perihal pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024. Mahkamah juga meminta pemerintah dan DPR mengatur masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024.

MK menilai, penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah. Caranya, MK menilai dengan melakukan rekayasa konstitusional atau constitutional engineering berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota. 

Menanggapi putusan MK, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Agustyati menilai itu sebagai momentum bagi DPR dan pemerintah merevisi undang-undang. Khoirunnisa menyerukan supaya kedua lembaga itu segera membahas mengenai revisi UU Pemilihan Umum dan Pilkada melalui kodifikasi. “Bahasanya harus segera, harus gabung, ya,” ujar dia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *