Anwar Ibrahim Minta Bantuan Prabowo untuk Mendorong Conversation dalam Konflik Myanmar
TEMPO.CO, Jakarta – Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim meminta bantuan Presiden Prabowo Subianto untuk menggunakan fasilitas militer dan intelijen dalam konflik Myanmar.
Permintaan ini disampaikan Anwar setelah menemui Prabowo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 27 Juni 2025.
“Saya juga meminta bantuan Bapak Presiden (Prabowo) untuk menggunakan segala kapasitas militer maupun intelijen, bukan dalam bentuk serangan, tetapi untuk berdialog dan menjembatani kesepahaman di antara kelompok-kelompok di Myanmar,” kata Anwar dalam pernyataan bersama.
Anwar mengucapkan terima kasih atas keterlibatan Indonesia yang mendukung upaya penyelesaian damai. Menurut dia, Indonesia memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalam membantu mengurangi tekanan konflik inner di Myanmar.
Sebelumnya, Anwar Ibrahim bertemu dengan Perdana Menteri Thailand Paetongtarn Shinawatra dan pemimpin junta Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing di Bangkok, Thailand, 17 April 2025.
Lewat pernyataan di Fb, Anwar mengatakan ia dan Min Aung Hlaing melakukan diskusi konstruktif untuk memenuhi bantuan kemanusiaan di Myanmar. Salah satunya penempatan rumah sakit daurat serta mengembalikan negara ke kondisi commonplace.
“Saya menyambut baik langkah-langkah terbaru untuk meredakan ketegangan, termasuk pembebasan 4.800 tahanan tadi malam,” kata Anwar. “Gestur seperti ini adalah sinyal yang berarti. Kami terus mendorong semua pihak untuk terlibat secara serius demi stabilitas Myanmar dan kesejahteraan rakyatnya.”
Namun Anggota Parlemen ASEAN untuk Hak Asasi Manusia (APHR) mengkritik pertemuan tersebut. APHR khawatir pertemuan itu berisiko melegitimasi rezim junta militer yang bertanggung jawab atas kekejaman di Myanmar. APHR juga menilai pertemuan itu sangat merusak upaya regional untuk memulihkan perdamaian, demokrasi, dan supremasi hukum di Myanmar.
Anggota Dewan APHR dan Anggota DPR Thailand, Rangsiman Rome, mengatakan bahwa sejak kudeta pada 2021 tidak ada Ketua ASEAN yang bertemu dengan pemimpin junta. Sikap diplomatik itu, jelas Rome, memang disengaja untuk menafikan legitimasi rezim junta militer.
“Keputusan Perdana Menteri Anwar untuk melanggar preseden ini mengancam kredibilitas ASEAN dan menurunkan konsensus regional yang dibangun selama tiga tahun terakhir,” kata Rome, dalam rilis resmi APHR, Rabu, 16 April 2025.
Wakil Ketua APHR dan mantan anggota parlemen Malaysia, Charles Santiago, menyuarakan kekhawatiran yang sama. Menurut dia, diplomasi tidak boleh mengorbankan legitimasi rezim yang “brutal dan kriminal”.
“Sebagai ketua ASEAN pada 2025, Malaysia harus memimpin dengan keyakinan—memperjuangkan pendekatan berbasis hak asasi manusia dan berpusat pada rakyat yang berakar pada keadilan, bukan peredaan,” ujarnya.
Ketua APHR dan Anggota DPR Indonesia, Mercy Chriesty Barends, menilai pertemuan Anwar dengan Min Aung Hlaing tanpa menuntut penyelesaian kekerasan atau memulihkan demokrasi menjadi sinyal yang berbahaya. Kondisi ini, kata dia, tak hanya buruk bagi rakyat Myanmar, namun juga bagi kawasan yang lebih luas,”
“Hal ini memperkuat rezim militer yang telah mempersenjatai bantuan kemanusiaan, menekan suara-suara demokrasi, dan melakukan kekejaman yang tak terkatakan dengan impunitas,” tutur Mercy.