Kala W.S. Rendra Ditangkap karena Protes Pemberedelan Pace 31 Tahun Silam
TEMPO.CO, Jakarta – Sikap antikritik rezim Orde Baru terhadap media telah membuat nafas jurnalistik menjadi sesak. Lebih dari 30 tahun lalu, tepatnya pada Juni 1994, redaksi majalah Tempo, Tabloid DeTik, dan Editor diberedel karena mengungkap sisi buruk pemerintahan. Kesewenang-wenangan pemangku kebijakan itu menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk mendiang penyair W.S. Rendra.
Bersama anggota Bengkel Teater dan sejumlah aktivis, buruh, dan mahasiswa, W.S. Rendra melakukan demonstrasi di depan kantor Departemen Penerangan, Jakarta, sepekan setelah pemberedelan, 27 Juni 1994. Namun, memang sudah dasarnya antikritik, pemerintahan Presiden Soeharto lewat kaki tangannya justru menangkap Rendra dan kawan-kawan.
Padahal massa demonstrasi melakukan aksi secara damai. Mereka hanya duduk-duduk di depan Departemen Penerangan sembari menyanyikan lagu “Padamu Negeri”. Selain itu, Rendra bersama 20 anggota Bengkel Teater juga mengadakan aksi baca puisi. Namun tepat sesaat setelah Rendra membacakan puisinya, aparat keamanan kemudian menangkap dan menahan Si Burung Merak itu.
Rendra ditahan dengan alasan yang tak masuk akal dan terkesan diada-adakan. Kapolda Metro Jaya kala itu, Mayjen (Pol) M. Hindarto, para demonstran itu melanggar hukum karena berkumpul di tempat umum tanpa adanya izin. Hindarto menegaskan semua pedemo yang tertangkap di space Departemen Penerangan, akan dibawa ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Mereka melakukan tindak pidana melanggar ketentuan berkumpul di tempat umum lebih dari 5 orang tanpa izin tertulis dari Kapolda,” kata dia saat itu.
Tindakan peringkusan demonstran tersebut disorot Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga ini menyampaikan protes terbuka atas perlakuan pemerintah. Menurut YLBHI, tuntutan yang disampaikan masih dalam batas-batas yang dibenarkan UUD 1945 dan hukum yang berlaku. Untuk itu, YLBHI meminta pengunjuk rasa yang ditangkap segera dibebaskan.
Sementara itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM juga menerima laporan aduan penangkapan massa dari aliansi masyarakat anti pemberedelan pers. Menanggapi hal ini, Sekjen Komnas HAM ketika itu, Baharuddin Lopa menurunkan tim khusus untuk melakukan penyelidikan. Pasalnya, selain penangkapan, aliansi menyebutkan adanya pemukulan terhadap penunjuk rasa.
“Sesuai dengan mekanisme di Komnas HAM, maka kami harus turun ke lapangan untuk mengecek hal ini dari kedua belah pihak,” ujar Lopa, saat itu. “Kita adalah negara hukum, tidak boleh ada penangkapan dan penahanan tanpa ada surat perintah penahanan”.
Protes yang disampaikan Rendra itu dilatarbelakangi pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers atau SIUP yang dikirim pihak pemerintah kepada pimpinan Majalah Pace pada 21 Juni 1994. Surat itu diberikan oleh Menteri Penerangan saat itu, Harmoko. Tak hanya Majalah Pace, Tabloid DeTik dan Editor juga turut dibredel.
Usut punya usut, pemberedelan ini merupakan buntut dari berita yang diterbitkan Majalah Pace edisi terbit 7 Juni 1994. Berita tersebut mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur seharga USD 12,7 juta menjadi USD 1,1 miliar. Edisi sebelumnya, Majalah Pace mengungkapkan adanya pelipatgandaan harga kapal bekas sebesar 62 kali lipat.
“Ada pers yang mengeruhkan situasi dan mengadu domba. Ini gangguan pada stabilitas politik dan nasional. Kalau tak bisa diperingatkan, akan kita ambil tindakan,” kata Soeharto pada 9 Juni 1994, menguatkan dugaan penyebab Pace diberedel.