Habiburokhman Kritik Balik Koalisi Sipil yang Kritisi RUU KUHAP
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Komisi III DPR Habiburokhman tak terima kritik yang menyebut pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP tidak mewakili kepentingan publik.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan lembaga legislatif membuka partisipasi masyarakat seluas-luasnya dalam penyusunan RUU KUHAP. “Kami juga mengkritisi oknum-oknum, orang-orang atau lembaga-lembaga yang mengklaim mereka lah yang masyarakat sipil. Ya kami juga wakil dari masyarakat sipil,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis, 9 Juli 2025.
Ia menjelaskan bahwa Komisi Hukum DPR telah mendengar masukan dari 53 pihak dengan beragam latar belakang untuk penyusunan KUHAP. Hingga saat ini dia mengklaim DPR dengan pemerintah telah membahas 1.676 daftar invetaris masalah. Rinciannya, sebanyak 1.091 pasal dipertahankan, 68 pasal diubah, 91 pasal lama dihapus, 131 pasal baru, 256 perubahan redaksional.
Ia tidak setuju dengan anggapan bahwa partisipasi bermakna yang digaungkan DPR dalam penyusunan RUU KUHAP sebatas retorika belaka. “Pasal-pasal yang masuk ini ini adalah pasal dari masyarakat semua loh. Jadi silakan masyarakat menilai, kami yang omong kosong atau mereka yang omong kosong,” kata Habiburokhman.
Dia menilai RUU KUHAP lebih mengedepankan kebutuhan korban dalam pendampingan hukum serta memberikan wewenang lebih bagi advokat. Oleh karena itu, Habiburokhman meyakini RUU KUHAP mendesak untuk disahkan.
Sebelumnya peneliti Institute for Legal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari mengatakan naskah DIM yang terdiri dari 1600-an poin itu tidak banyak mengubah substansi draf RUU KUHAP yang dibuat DPR. Padahal, draf RUU KUHAP versi DPR dinilai banyak mengandung masalah.
“Isi DIM-nya cenderung mengamini draf yang lama, nggak ada perubahan substansial. Kalau pun ada perubahan justru makin buruk,” ujar Tita di kantor Pace pada Kamis, 3 Juli 2025.
Salah satu persoalan dalam naskah DIM RUU KUHAP yang disorot Tita adalah tentang izin hakim dalam upaya paksa penangkapan dan penahanan oleh penyidik. DIM RUU itu, kata dia, memang mencantumkan kewajiban penyidik untuk memperoleh izin dari hakim setempat sebelum melakukan upaya penangkapan dan penahanan. Namun, pasal itu juga mengandung ayat yang mengecualikan izin hakim dalam kondisi mendesak tertentu.
“Keadaan mendesak ini maknanya salah satunya dari penilaian subyektif penyidik yang tidak ada limitasinya,” kata Tita.
Menurut Tita, penilaian subyektif penyidik itu hanya akan melegitimasi permasalahan-permasalahan pelanggaran hak asasi manusia dalam proses upaya paksa yang terjadi saat ini.
Padahal, koalisi masyarakat sipil dalam conversation bersama Kementerian Hukum telah menyuarakan bahwa pelaksanaan upaya paksa harus diatur secara inflexible dengan pengawasan hakim. Apabila ada pengecualian, upaya paksa itu harus dilakukan secara obyektif, tidak mengacu pada penilaian subyektif penyidik.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan DPR tidak akan mengebut RUU KUHAP. Dia juga menjanjikan pembahasan RUU KUHAP dilaksanakan secara terbuka dan memberi ruang partisipasi publik. Salah satunya menampilkan perkembangan pembahasan RUU KUHAP di laman yang disediakan.
“Dalam masa sidang ini kami akan minta kepada komisi terkait untuk bahas, karena partisipasi masyarakat, baik dalam pemerintah menyusun DIM, itu dirasa sudah cukup,” kata Dasco pada Kamis.
RUU KUHAP akan menggantikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Revisi KUHAP ini merupakan inisiasi Dewan Perwakilan Rakyat dan masuk dalam Program Legislasi Nasional.
Oyuk Ivani Siagian berkontribusi dalam penulisan artikel ini.