Penyebab Sarjana Sulit Dapat Kerja
TEMPO.CO, Jakarta – Pengamat ketenagakerjaan, Tadjuddin Noer Effendi, memberikan sejumlah analisa penyebab meningkatnya pengangguran sarjana. Mengacu knowledge Kementerian Ketenagakerjaan, tahun ini pengangguran sarjana mencapai 1,01 juta orang atau sekitar 200 ribu lebih banyak dibanding 2024.
Dosen Ilmu Sosiologi di Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan fenomena ini dapat dilihat dari dua faktor, yakni ketersediaan lapangan kerja dan kompetensi calon pekerja. Dari sisi lapangan kerja, kata dia, terjadi ketimpangan pembangunan antardaerah sehingga industri terlalu terpusat di Pulau Jawa.
Keadaan tersebut menyebabkan sarjana yang berada di luar pulau Jawa kesulitan mengakses informasi atau disebut dengan pengangguran freksional. Kalau pun dapat, Tadjuddin berujar tidak semua orang memiliki kondisi yang memungkinkannya untuk merantau. “Kondisi sosial seperti ini juga berpengaruh,” kata dia saat dihubungi pada Jumat, 10 Juli 2025.
Kemudian dari sisi kompetensi calon pekerja, Tadjuddin menilai terjadi mismacth alias ketidakselarasan antara kompentensi yang diajarkan kepada mahasiswa dan kebutuhan industri. Dia menyebut hal ini dipicu oleh kegagapan perguruan tinggi dalam mengikuti kecepatan perkembangan keilmuan dan teknologi.
“Di dunia kerja yang dibutuhkan itu ahli IT, tapi produksi terbesar Indonesia masih di sektor humaniora dan sosial,” kata dia.
Tadjuddin berpendapat kelambanan adaptasi itu dipengaruhi oleh kurangnya sumber daya manusia perguruan tinggi serta dukungan anggaran yang tidak memadai. “Kadang-kadang, dana dari pemerintah itu tidak cukup untuk membiayai. Terutama untuk peralatan yang membutuhkan teknologi tinggi,” tuturnya.
Keterbatasan tersebut, menurut Tadjuddin, semestinya dapat diakali melalui kerja sama antara perguruan tinggi dan industri. Kendati hal itu juga tidak mudah lantaran belum banyak industri yang terbuka untuk dijadikan tempat pelatihan. Itu sebabnya, Tadjuddin mendorong agar Kementerian Pendidikan Tinggi hadir menjembatani keduanya. “Kementerian selalu regulator harus bisa menyambungkan keterputusan ini,” kata dia.
Pengamat Pendidikan Suyanto mengatakan hal yang sama. Menurut dia, saat ini banyak program studi yang sudah tidak relevan. Sementara kampus pun banyak yang masih denial terhadap keberadaan berbagai teknologi baru, seperti AI alias akal imitasi. “Perguruan tinggi meresponnya (kemajuan teknologi) masih setengah hati,” kata dia saat dihubungi Kamis, 10 Juli 2025.
Oleh karena itu, Guru besar Universitas Negeri Yogyakarta itu mengusulkan agar program studi yang sudah tidak begitu relevan diperbaharui atau dihapuskan. Menurut dia, menutup satu program studi semestinya tidak dianggap tabu dalam lingkungan akademik yang sehari-hari berjibaku dengan perubahan dan perkembangan keilmuan. “Sayangnya orang Indonesia itu barang yang sudah ada itu enggak boleh tidak ada.”
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Togar Mangihut Simaptupang juga tak memungkiri bahwa relevansi antara pembelajaran di bangku kuliah dan kebutuhan industri menjadi salah satu penyebab banyaknya pengangguran sarjana.
Ia menyebut jarak antara keduanya tercipta karena perubahan di lapangan yeng berjalan cepat, sementara produksi calon pekerja relatif konstan. “Sehingga ada masalah sistem namanya umpan baliknya telat,” kata dia saat dihubugi pada Kamis, 10 Juli 2025.
Togar menuturkan perguruan tinggi juga tidak bisa mengimbangi kecepatan perubahan tersebut karena terbentur berbagai macam aturan birokrasi yang kaku. Misalnya, kebiasaan mengevaluasi kurikulum setiap lima tahun sekali, sementara perubahan terjadi setiap waktu sebelum perguruan tinggi sempat beradaptasi.
Lalu, ketika ingin menghapus atau mengubah progam studi yang sudah tidak relevan, Togar menjelaskan kampus harus menempuh prosedur yang cukup rumit serta membutuhkan waktu paling cepat mencapai dua tahun. “Belum lagi mereka juga kadang tidak mau karena berkaitan dengan akreditasi,” kata dia.