Cerita Pemuda Poco Leok ke Pelapor Khusus PBB soal Proyek Geothermal NTT
TEMPO.CO, Manggarai — Masyarakat adat Poco Leok, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT), menilai proyek geothermal atau panas bumi mengancam keutuhan ruang hidup. Servasius Masyudi Onggal, pemuda yang mewakili sepuluh gendang atau komunitas adat di Poco Leok, berbicara langsung dengan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak-hak Masyarakat Adat, Albert Kwokwo Barume. “Masyarakat adat Poco Leok sudah ada jauh sebelum negara ini lahir,” ujar laki-laki yang akrab disapa Yudi itu di Rumah Adat Gendang Tere, Desa Mocok, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, pada Senin, 7 Juli 2025.
Yudi menyebut ada 14 kampung adat di Poco Leok. Sebagai masyarakat Manggarai, belasan komunitas itu mengenal lima unsur atau prinsip dasar tentang adat dan budaya yang menjadi acuan. Lima filosofi itu meliputi gendang atau rumah/komunitas adat; lingko atau kebun komunal; wae atau mata air; natas labar atau ruang tempat bersosialisasi dan berinteraksi; dan compang atau tugu yang berfungsi sebagai altar penyembahan kepada leluhur dan Wujud Tertinggi. “Kelima sila ini menjadi gambaran ruang hidup kami di sini,” ucap Yudi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya penting secara budaya, lima unsur pokok itu juga penting secara ekonomi. Yudi menuturkan, masyarakat adat Poco Leok juga memiliki pengaturan tersendiri soal tanah. “Tanah itu dianggap properti milik bersama, milik gendang, milik komunitas. Tidak ada klaim kepemilikan pribadi atas tanah,” ujar dia.
Kemudian, Yudi melanjutkan, segala keputusan yang berhubungan dengan kehidupan kolektif masyarakat Poco Leok harus dilakukan melalui musyawarah. “Dalam istilah Poco Leok ini disebut Lonto Leok. Kami duduk melingkar dan berdialog soal keputusan apa pun terkait dengan kehidupan bersama,” ujar dia.
Kehidupan masyarakat adat Poco Leok mulai berubah pada 2017. Kala itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengesahkan Keputusan Menteri ESDM Nomor 2268 K/30/MEM/2017 tentang Penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi. Keputusan itu diklaim bertujuan mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi di Pulau Flores, baik sebagai sumber listrik maupun sumber energi non-listrik.
“Dan itu sama sekali, tanpa disetujui atau disepakati oleh masyarakat Flores secara keseluruhan,” ujar Yudi. Dia mengakui memang sudah ada beberapa proyek geothermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sudah berjalan. Salah satunya adalah PLTP Ulumbu di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, NTT, yang sudah ada sejak 2011.
Pada 2017 hingga 2019, ekspansi proyek panas bumi lebih masif dijalankan. PT PLN, Yudi mengatakan, mengirimkan ilmuwan, insinyur, ahli geologi, hingga mahasiswa untuk melakukan penelitian di tanah Poco Leok. Namun, menurut dia, penelitian ini dilakukan tanpa sepengetahuan komunitas adat. “Mereka berkeliling di Poco Leok sebebas-bebasnya dan menganggap Poco Leok itu sebagai wilayah tanpa tuan,” tutur Yudi.
Pemuda ini pun menjelaskan alasan masyarakat adat Poco Leok menolak proyek panas bumi. “Geothermal itu adalah proyek yang rakus lahan dan rakus air. Dia membutuhkan lahan dan air yang banyak,” kata Yudi. “Sementara dalam kehidupan masyarakat Poco Leok, tanah dan air itu adalah dua unsur penting.”
Ia menegaskan, kelima sila pokok itu merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dihilangkan satu unsur pun. Yudi mengatakan, 10 gendang Poco Leok telah melakukan berbagai bentuk penolakan. Salah satunya melalui aksi “jaga kampung” yang sudah dilakukan sebanyak 27 kali. Tak jarang, masyarakat adat yang menolak proyek geothermal ini harus berhadapan dengan aparat keamanan, mulai dari polisi, TNI, satuan polisi pamong praja, hingga preman.
Tak hanya itu, Yudi menyebut banyak masyarakat adat Poco Leok penolak geothermal yang dituduh sebagai provokator. Mereka dinilai sebagai pembangkang. “Kami dicap anti-pemerintah, anti-pembangunan, karena kami mempertahankan tanah kami,” kata Yudi.
Kemudian, Yudi mengklaim, proyek geothermal juga mengancam kerukunan warga Poco Leok. Padahal, masyarakat adat Poco Leok terkenal rukun dan akrab. “Terjadi perpecahan yang luar biasa di antara masyarakat. Itu fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya,” ujar Yudi.
Adapun Albert Kwokwo Barume mengatakan, kunjungan ke Poco Leok untuk mendengarkan langsung dan mencatat kesaksian masyarakat adat NTT soal dampak dari proyek-proyek negara di tanah mereka. Kedatangan Albert merupakan bagian dari rangkaian kunjungan akademik—sebutan untuk kunjungan tidak resmi bagi pelapor khusus PBB—ke berbagai wilayah Indonesia.
Beberapa hari sebelumnya, Albert telah melawat ke Jayapura, Papua. “Misi saya sebagai pelapor khusus PBB adalah untuk mengamplifikasi suara Anda, untuk membuat suara masyarakat adat lebih kuat dan terdengar,” ujar dia. Menurut Albert, memahami persoalan yang dihadapi masyarakat adat merupakan hal yang sulit, terutama jika tak pernah bertemu langsung dengan mereka.
Namun dalam kunjungan tak resmi seperti ini, Albert belum dapat memberikan komentar atas situasi negara. Artinya, dia memiliki keleluasaan untuk melihat kondisi dan mendengar pengalaman masyarakat adat, namun tidak bisa melakukan penilaian terhadap pemerintah. “Saya bisa melihat, saya bisa mendengar. Tapi saya tidak bisa berkomentar mengenai pemerintahan,” ujar Albert.
Meski begitu, ia tetap menegaskan komitmennya untuk menjadi penguat suara masyarakat adat. Bagi Albert, memberikan kekuatan pada suara masyarakat adat merupakan tugas utamanya sebagai pelapor khusus PBB. Kendati begitu, ia mengingatkan bahwa dirinya bukan hakim yang bisa mengadili. “Ini bukan pengadilan. Sebagai pelapor khusus, saya tidak dapat menghukum pemerintah atau perusahaan,” kata Albert.