Logo

Dilema Sound Horeg Diminati dan Ditolak


TEMPO.CO, JakartaPemerintah Jawa Timur membahas penyusunan regulasi penggunaan sound horeg. Pembahasan ini merupakan respons atas meningkatnya keluhan masyarakat akibat kebisingan yang ditimbulkan dari hiburan jalanan itu. “Sedang digodok, tidak didiamkan. Kita tunggu dari seluruh pihak yang terkait, karena ini menjadi aspirasi masyarakat, tentu tidak didiamkan,” kata Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Elestianto Dardak, dikutip Antara, Rabu, 9 Juli 2025.

Sound horeg istilah yang merujuk hiburan keliling menggunakan sistem suara berdaya tinggi, dianggap sebagian kalangan sebagai hiburan rakyat yang meriah. Akan tetapi, praktik ini memunculkan polemik yang terus disoroti mengenai terkait ketertiban umum dan pengaruhnya terhadap kesehatan pendengaran.

Fenomena sound horeg belakangan makin disoroti, terutama setelah munculnya fatwa haram. Pada 26–27 Juni 2025, Pondok Pesantren Besuk di Pasuruan, Jawa Timur, menggelar pertemuan Discussion board Satu Muharram (FSM) yang menghasilkan fatwa haram sound horeg. 

Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Asrorun Niam Sholeh memahami langkah tersebut sebagai upaya pencegahan terhadap dampak buruk yang ditimbulkan. “Fatwa itu bersifat kontekstual untuk kepentingan kemaslahatan,” katanya, pada Kamis, 10 Juli 2025.

Tinjauan dalam Budaya Populer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akademisi Universitas Muhammadiyah Surabaya Radius Setiyawan memandang sound horeg memiliki nilai artistik dan potensi kreatif sebagai bagian dari ekspresi budaya populer Menurut Radius, tanpa adanya edukasi, regulasi, dan sensitivitas sosial, fenomena tersebut dapat menjadi gangguan ketimbang hiburan. “Bukan berarti sound horeg sepenuhnya negatif. Sebagai ekspresi budaya populer, ia tetap punya nilai artistik dan potensi kreatif,” kata dosen bidang kajian media dan budaya itu.

Ia mafhum salah satu keluhan utama masyarakat karena tingkat kebisingan sound horeg yang melebihi ambang batas pendengaran. “Kondisi ini dinilai mengganggu ketertiban dan kenyamanan, terutama di lingkungan padat penduduk, dekat tempat ibadah, atau pada malam hari,” katanya.

Suara dan Kelas Sosial

Jika ditinjau dari sudut pandang sosiologi, suara keras seperti sound horeg juga merujuk pembagian kelas sosial dan nilai budaya tertentu. “Musik (bersuara) keras ini bisa dipandang sebagai bentuk identitas sosial bagi kelompok tertentu, sementara kelompok lain, terutama yang lebih tua atau konservatif menganggapnya sebagai gangguan sosial,” katanya.

Radius memandang fenomena sound horeg sebagai cerminan perubahan sosial dalam arus modernisasi dan globalisasi.“Anak muda yang mengadopsi sound horeg mungkin ingin menunjukkan identitas mereka yang lebih progresif atau bahkan menentang norma-norma budaya tradisional,” ucapnya.

Regulasi untuk Sound Horeg

Menurut Radius, pengakuan terhadap sound horeg dilakukan dengan pendekatan yang menghargai keberagaman budaya dan membuka ruang bagi kreativitas lokal. “Maka regulasi yang adil dan transparan diperlukan untuk memastikan bahwa langkah ini tidak merugikan keberagaman budaya dan kreativitas lokal,” katanya.

Radius mengatakan pentingnya regulasi yang adil dan transparan dalam memberikan perlindungan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) terhadap sound horeg. “Jika tidak dikelola dengan baik, perlindungan HAKI bisa mengarah pada monopoli dan menghambat perkembangan karya-karya baru yang terinspirasi dari sound horeg itu sendiri,” ucapnya.

Menurut Agung Damarsasongko, selaku Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), penting untuk membedakan antara kreativitas yang patut dilindungi dan praktik yang merugikan masyarakat. “Kita harus bisa membedakan terlebih dahulu mana yang merupakan suatu kreativitas yang penting untuk dilindungi kekayaan intelektualnya, mana dampak yang merugikan untuk masyarakat,” kata Agung, pada 30 April 2025, seperti dikutip situs internet DJKI.

Fatwa Haram

Fatwa haram yang dikeluarkan oleh FSM Pasuruan tersebut berdasarkan discussion board diskusi keagamaan yang melibatkan para kiai dan santri atau bahtsul masail. Muhib Aman Ali, selaku pimpinan Ma’had Aly Pondok Pesantren Besuk, menjelaskan keputusan tersebut tidak muncul secara mendadak. “Sound horeg sudah sangat meresahkan, khususnya di wilayah Jawa Timur seperti Pasuruan dan Malang sejak masa pascapandemi,” katanya, menurut situs internet MUI.

Dalam discussion board tersebut, disimpulkan tiga alasan utama munculnya fatwa haram. Pertama, suara yang ditimbulkan sangat keras, mengganggu kenyamanan, dan bahkan dapat menimbulkan dampak fisik. Kedua, pertunjukan menampilkan joget tidak senonoh, pergaulan bebas, dan konsumsi alkohol. Ketiga, anak-anak yang ikut menonton pertunjukan ini berisiko terpapar konten yang tidak mendidik dan bertentangan dengan ajaran Islam.

Muhib menjelaskan, fatwa ini tidak bermaksud mematikan sektor ekonomi, khususnya usaha penyewaan sound device. Ia membedakan antara sound device yang digunakan dalam acara pernikahan dengan sound horeg yang dimaksud dalam fatwa. “Yang kami fatwakan haram adalah pertunjukan keliling yang memenuhi tiga kriteria tadi,” katanya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *