Akademikus Tegaskan Putusan MK Eksplisit Larang Wamen Rangkap Jabatan
TEMPO.CO, Jakarta -Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Yance Arizona mengatakan, pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara Nomor 80/PUU-XVII/2019 telah menjelaskan secara eksplisit ihwal larangan rangkap jabatan bagi wakil menteri.
Yance menjelaskan, MK dalam pertimbangan hukumnya telah tegas menyebutkan standing menteri dan wakil menteri di tempatkan serupa, sehingga larangan rangkap jabatan juga berlaku bagi wakil menteri sebagaimana diatur pada Pasal 23 Undang-Undang Kementerian Negara. “Justru aneh kalau DPR dan pemerintah berkelit itu tidak melanggar,” kata Yance saat dihubungi, Jumat, 18 Juli 2025.
Menurut dia, sikap pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berkelit soal rangkap jabatan wakil menteri tidak melanggar aturan justru kian menandakan negara tidak patuh terhadap prinsip-prinsip dasar negara hukum dan konstitusi. Ketidakpatuhan itu juga menunjukan pemerintah dan DPR tak memahami ihwal asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Alasan tersebut justru menambah deretan panjang praktik abusive dan autocratic legalism. Abusive mengacu pada penggunaan hukum secara salah atau tidak adil untuk mencapai tujuan tertentu. Adapun autocratic legalism merujuk pada penggunaan hukum sebagai alat untuk memperkuat kekuasaan otoriter oleh penguasa.
Transparency Global Indonesia atau TII hingga Rabu, 16 Juli 2025, mencatatkan terdapat 34 dari 56 wakil menteri yang rangkap jabatan sebagai komisaris di berbagai perusahaan Badan Usaha Milik Negara atau BUMN.
Guru besar Hukum Tata Negara dari Universitas Jenderal Soedirman, Muhammad Fauzan, mengatakan jumlah tersebut besar kemungkinan bertambah. Sebab, proses rangkap jabatan kerap dilegitimasi tidak melanggar hukum.
Fauzan menjelaskan, MK menyebutkan larangan rangkap jabatan wakil menteri dalam putusan Nomor 80/PUU-XVII/2019. Merujuk kewenangan MK pada Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, sepatutnya pertimbangan itu diadopsi oleh pembentuk undang-undang. Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyebutkan, Mahkamah berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat ultimate untuk menguji hingga memutus undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, sengketa kewenangan lembaga, serta perselisihan hasil pemilu.
Frasa “putusannya bersifat ultimate” inilah, kata Fauzan, semestinya menjadi rujukan bagi DPR dan pemerintah untuk mematuhi prinsip-prinsip dasar negara hukum, konstitusi, dan pemerintahan yang baik. “Seluruh bagian yang ada dalam putusan MK, termasuk bagian “pertimbangan hukum” bersifat ultimate dan mengikat,” ujar Fauzan.
Sebelumnya, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan, tidak ada bunyi putusan yang melarang wakil menteri rangkap jabatan dalam putusan Mahkamah Nomor 80/PUU-XVII/2019. Kalimat wakil menteri dilarang rangkap jabatan, kata dia, hanya terdapat dalam pertimbangan hukum putusan MK. “Jadi, apa yang dilakukan hari ini tidak melanggar putusan, tidak menyalahi putusan Mahkamah,” kata Hasan pada 3 Juni 2025.
Anggota Komisi VI DPR Herman Khaeron mengatakan tidak ada aturan eksplisit yang melarang wakil menteri rangkap jabatan menjadi komisaris BUMN. Namun, kata dia, Komisi yang membidangi BUMN itu akan berupaya meminta penjelasan pemerintah perihal fenomena rangkap jabatan yang menuai kritik publik. “Saya pribadi melihat penunjukan ini mungkin saja ditujukan untuk mempererat hubungan institusi,” kata politikus Partai Demokrat itu.