Narasi Mengaburkan Sejarah Penculikan Aktivis 1998
TEMPO.CO, Jakarta – Akun BukanCaleg10 [arsip] mengunggah video yang mengklaim Prabowo Subianto merupakan korban dalam peristiwa kerusuhan 1998. Lewat video berdurasi 1 menit 45 detik, akun itu mengamplifikasi siniar Uya Kuya bersama Jusuf Hamka, yang membahas kerusuhan 1998.
“Ternyata peristiwa 98 hanya konspirasi yang mengorbankan Prabowo Subianto dari karirnya di TNI,” kata sosok yang diduga pemilik akun tersebut, di video yang dibagikan pada 7 Juli 2025. Hingga 16 Juli 2025, konten itu kini telah disebarkan ulang setidaknya sebanyak 150 kali dan disukai oleh 1.723 akun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Konten ini, bersama sejumlah konten sejenis, beredar ketika Kementerian Kebudayaan sedang menulis ulang sejarah Indonesia. Proyek ini memicu kontroversi karena Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan sejarah Indonesia akan ditulis ulang dengan tone yang lebih positif. Ia menjelaskan, salah satu bentuk nada positif itu dengan tidak mencari kesalahan di masa lalu.
Banyak kalangan mengkritik konsep tersebut. Terlebih, Kementerian Kebudayaan juga disinyalir akan menghilangkan sejarah beberapa peristiwa pelanggaran hak asasi manusia berat, salah satunya penculikan dan penghilangan paksa aktivis prodemokrasi 1997-1998. Pada masa itu, 23 orang diculik oleh tentara yang tergabung dalam Tim Mawar. Tim ini merupakan bentukan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Angkatan Darat di masa Orde Baru. Sembilan aktivis dipulangkan, namun 13 lainnya hilang dan belum kembali hingga sekarang.
Prabowo Subianto, yang kini menjadi Presiden RI, merupakan Komandan Kopassus 1997-1998. Setelah penculikan dan penghilangan paksa para aktivis, ia ditetapkan bersalah dan terbukti melakukan beberapa penyimpangan dan kesalahan. Ia diberhentikan dari jabatan militernya melalui Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP.
Pada 2008, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2008 menetapkan 12 kasus pelanggaran HAM berat, termasuk penghilangan orang secara paksa dan penculikan aktivis pada 1998.
Upaya mengaburkan keterlibatan Prabowo dalam penculikan aktivis 1998 itu belakangan kembali mencuat. Penelusuran Tempo menemukan, upaya tersebut muncul melalui sejumlah narasi yang ada sejak Prabowo kembali ke panggung politik. Penyebaran narasi ini disokong akun-akun pendukung Prabowo, pejabat pemerintah, dan bahkan eks-aktivis 1998.
Mendistorsi Pernyataan Munir Said Thalib
Untuk melacak berbagai narasi tersebut, Tempo melakukan pencarian dengan kata kunci “Prabowo tak melanggar HAM” dan “Prabowo tak bersalah” di pelbagai pelantar media sosial. Salah satu konten paling awal yang terdeteksi jejak digitalnya adalah potongan wawancara Munir Said Thalib dan Fadli Zon berjudul “Almarhum Munir mengenai ketidakadilan terhadap Prabowo Subianto”. Konten ini diunggah akun Creatorman 333 [arsip] di YouTube pada 8 Juni 2013.
Kanal CreatorMan333 [arsip] menyematkan alamat situs partaigerindra.or.id pada halaman informasi akunnya. Alamat itu merujuk pada Partai Gerindra, partai politik yang didirikan Prabowo. Kendati situs resmi Gerindra yang sebenarnya adalah gerindra.id. Konten ini beredar menjelang pemilu 2014, di mana Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden, berpasangan dengan Hatta Rajasa, melawan Joko Widodo dan Jusuf Kalla.
Lima tahun kemudian, pada pemilu 2019, Prabowo kembali bertarung dengan Jokowi. Potongan video serupa menyebar di Twitter [arsip] dan Youtube [arsip], sebelum dan sesudah pemilu. Video itu dibingkai dengan klaim serupa: Munir menyatakan Prabowo Subianto tidak terlibat dalam penculikan dan pelanggaran HAM 1998.
Video di Youtube itu dibagikan oleh akun Danny Gaida Tera ELgar [arsip] disertai promosi berbayar pada 12 Oktober 2019. Hingga 12 Juli 2025, video itu telah diakses 625 ribu kali. Tak cuma video tersebut, akun dengan 127 ribu pengikut ini banyak mengunggah video tentang kehidupan Prabowo Subianto dan Partai Gerindra.
Hasil verifikasi tim Cek Fakta Pace menunjukkan, klaim video berdurasi 1:12 menit itu tidak sesuai fakta alias disinformasi. Video itu dicomot dari rekaman program talkshow Liputan6 SCTV edisi 8 Oktober 1999 yang berisi pembahasan rencana keluarga Djojohadikusumo yang ingin menuntut pemerintah membersihkan nama Prabowo. Dalam program itu, Munir yang menjabat sebagai Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menjadi narasumber, bersama Fadli Zon, sebagai juru bicara Prabowo.
Jika disimak secara utuh, dalam talkshow berdurasi delapan menit itu, Munir sesungguhnya tak menyatakan Prabowo tidak bersalah dalam penculikan aktivis 1997-1998. Sebaliknya, ia mengkritik pemerintah dan militer karena tak pernah mengadili Prabowo. “Ini menjadi bentuk politik impunitas untuk melindungi orang-orang tertentu agar tak dituntut,“ kata Munir dalam program tersebut. Pernyataan bahwa Prabowo tidak melanggar HAM, justru diucapkan Fadli Zon.
Pada masa kampanye pemilu 2024, narasi Prabowo tak bersalah dan tak melakukan pelanggaran HAM semakin banyak beredar, terutama di TikTok. Tim Cek Fakta Pace menganalisis 50 akun yang membagikan narasi tersebut sepanjang Maret 2023-April 2024. Konten-konten ini dibagikan ulang sebanyak 48.156 kali.
Dari puluhan akun yang dianalisis, sebanyak 39 akun menyebarkan dua jenis video talkshow Munir-Fadli Zon itu yang narasinya dibingkai agar menguntungkan Prabowo. Konten ini telah disebarkan hingga lebih dari 38 ribu kali. Selain rekaman yang dicomot dari talkshow Liputan6 SCTV pada 1999, konten lainnya diambil dari dokumenter KontraS yang ditayangkan pada 25 Mei 2014.
Dalam dokumenter berjudul Pengadilan TIM Mawar Hanya Kambing Hitam itu, Munir menyatakan hanya sebelas anggota Tim Mawar yang dihukum dalam kasus penculikan aktivis 1998. Sementara dua jenderal dan satu kolonel, dicopot jabatannya tanpa disertai proses hukum, termasuk Prabowo Subianto. “Dalam kasus penculikan ini, substansi pelaku belum terjangkau,” kata Munir yang dibunuh pada 7 September 2004 di pesawat Garuda Indonesia dalam penerbangan GA 974 menuju Amsterdam.
Namun dalam konten yang disebarkan di TikTok, ucapan Munir itu direkayasa. Dalam narasi yang diputarbalikan itu, Munir diklaim menyebut Tim Mawar dan Prabowo merupakan kambing hitam dalam penculikan aktivis 1998.
Aktivis sekaligus istri mendiang Munir Stated Thalib, Suciwati, menyatakan sudah berulang kali membantah disinformasi yang mendistorsi pernyataan Munir melalui wawancara media. Namun konten-konten disinformasi terus bermunculan dan tetap bisa diakses hingga sekarang. “Munir tak pernah bicara seperti itu. Videonya dipotong,” kata Suciwati kepada Pace, Rabu 9 Juli 2025.
Menurut Suciwati, dalam wawancara tersebut Munir justru mendesak agar Prabowo dibawa ke pengadilan sipil untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Apalagi hingga sekarang, masih ada 13 aktivis yang belum kembali. Konten-konten yang mendistorsi pernyataan Munir tersebut, kata Suci, bagian dari kampanye panjang untuk “membersihkan” dosa masa lalu Prabowo.
Peran Negara dalam Penyebaran Disinformasi
Selain konten mendistorsi pernyataan Munir, narasi serupa juga datang dari beberapa pendukung Prabowo. Mantan Komisioner Komnas HAM 2012-2017, Natalius Pigai, menyebut Prabowo bersih dari tuduhan pelanggaran HAM. Pigai saat ini menjabat Menteri Hak Asasi Manusia.
Mantan aktivis 1998, Budiman Sudjatmiko, pada Desember 2023, mengeluarkan pernyataan bahwa Prabowo bukan seorang kriminal. “Pak Prabowo have compatibility, tidak ada bukti secara hukum yang mengatakan beliau adalah kriminal,” kata Budiman dikutip dari Kompas.com. Setelah memenangi pemilu 2024, Prabowo mengangkat Budiman sebagai Kepala Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan.
Selain dari pendukung Prabowo, upaya “mengharumkan” nama Prabowo juga terjadi di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jokowi tak hanya mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan, menjelang akhir jabatannya, Jokowi bahkan menganugerahi gelar kehormatan untuk Prabowo pada 28 Februari 2024. Penganugerahan ini banyak dikritik karena mengabaikan catatan pelanggaran HAM dan standing pemberhentian Prabowo dari militer.
Gelar kehormatan maupun pernyataan para pendukung Prabowo tersebut kemudian diamplifikasi oleh akun-akun pendengung di TikTok. “Bertahun-tahun menyudutkan Prabowo Subianto pelanggar HAM, sekarang lihatlah Bintang 4 sudah di pundaknya,” tulis akun kuli_asongan [arsip] pada 29 Februari 2024.
Produksi disinformasi dengan pengerahan pendengung dan pemengaruh virtual itu, menurut Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia, Masduki, merupakan upaya mempengaruhi opini publik. Para pendengung menargetkan para pemilih muda di TikTok, karena generasi ini dianggap tak banyak tahu soal peristiwa penculikan aktivis 1998 dan pelanggaran HAM masa lalu.
Kini, setelah Prabowo menjadi presiden, narasi tersebut tak cuma diamplifikasi para pendengung dan pemengaruh. Masduki melihat, negara, melalui para pejabat pemerintah, turut mengorkestrasi narasi itu secara berkelanjutan melalui pernyataan penyangkalan atas tudingan pelanggaran HAM oleh Prabowo. Termasuk melalui proyek penulisan ulang sejarah. “Ada upaya sistemik untuk menghapus keterlibatan Prabowo dalam sejarah pelanggaran HAM,” kata Masduki, Jumat 11 Juli 2025.
Upaya pengaburan sejarah itu, kata Masduki, ditopang oleh keberadaan platform media sosial yang membiarkan penyebaran konten disinformasi sejarah, sehingga bisa diakses secara luas. Konten semacam ini, kata dia, bisa membuat masyarakat ikut menyangkal fakta adanya pelanggaran HAM berat di masa lalu. “Seharusnya platform media sosial berperan aktif mendukung isu-isu demokrasi dan kebangsaan,” kata pendiri Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) ini.
Pace meminta tanggapan TikTok, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani, dan Ketua Tim Penulisan Sejarah Indonesia Susanto Zuhdi. Namun, hingga artikel ini diterbitkan, mereka belum merespons.
Sebelumnya, dalam wawancara dengan Pace yang terbit pada 15 Juni 2025, Susanto merespons kekhawatiran publik ihwal minimnya porsi sejarah pelanggaran HAM masa lalu di proyek penulisan ulang sejarah. Menurut dia, sejarah peristiwa hak asasi manusia tidak mungkin cukup dicantumkan dalam satu buku. “Kan nanti bisa buat buku tersendiri mengenai sejarah HAM. Sama saja dengan sejarah lokal, tidak semuanya bisa masuk,” kata dia.
Draf yang beredar di publik pada 16 Januari 2025, kata Susanto, adalah konsep penulisan ulang sejarah yang paling awal. Ia mengakui draf tersebut masih banyak bolongnya. Setelah enam bulan berjalan, para penulis sudah lebih maju dari konsep awal. “Kami benar-benar bekerja berdasarkan metode akademis,” kata Profesor dari Pusat Arkeologi Nasional Badan Riset dan Inovasi Nasional ini.
Artika Farmita berkontribusi dalam artikel ini.
**Punya informasi atau klaim yang ingin Anda cek faktanya? Hubungi ChatBot kami. Anda juga bisa melayangkan kritik, keberatan, atau masukan untuk artikel Cek Fakta ini melalui e-mail [email protected]