Alasan Koalisi Masyarakat Sipil Kritisi RUU KUHAP
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengungkapkan dua alasan utama mengapa YLBHI dan koalisi masyarakat sipil mengkritisi rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP).
Pilihan Editor: Dinasti Dedi Mulyadi
“Selama ini kami protes terkait proses yang menurut kami kurang memenuhi unsur partisipasi yang bermakna, serta substansinya yang menurut kami belum sepenuhnya memberikan penguatan kepada advokat dan bantuan hukum, dan juga pada prinsip-prinsip hak asasi manusia lainnya,” ujar Isnur saat rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR, Senin, 21 Juli 2025.
Isnur menilai, selama ini proses penyusunan RUU KUHAP terkesan tergesa-gesa. Selain itu, kata dia, minimnya proses transparansi sehingga koalisi sipil bertanya-tanya mengenai proses penyusunannya. “Jadi proses ini yang sangat kami fikir, banyak hal yang kami bertanya pada akhirnya, sehingga kami berpendapat ini ada hal yang kami harus koreksi, kami akan beri masukan agar tidak seperti ini lagi,” kata Isnur.
Adapun dalam RDPU bersama Komisi III, Isnur menyoroti sejumlah aturan dalam RKUHAP. Ia mempertanyakan isi pasal yang mengatur tentang hak-hak tersangka, terdakwa, dan saksi.
Menurut dia, Pasal 134 dan 135 RKUHAP belum menjamin secara tegas hak seseorang untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan hukum yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat sebagaimana yang telah dijamin di hukum internasional.
“Ketika ada penyiksaan maka dakwaan batal dan bebas karena mengalami penyiksaan. Itu penting bagi kami, bahwa hak dan perlakuan terhadap tersangka harus disebutkan secara tegas,” ucapnya.
Selain itu, kata Isnur, Pasal 134 c, Pasal 135b, belum sesuai dengan jaminan dan ketentuan UU TPKS, UU PDKRT serta UU Peradilan Anak. Ia menyoroti peran-peran selain advokat dalam penanganan kasus seperti pendampin paralegal, pendamping sosial, pendamping psikologis, dan pendamping lainnya. “Jadi kemajuan yang kita capai dalam undang-undang lainnya, saya kira ini penting untuk diseleraskan,” ucap Isnur.
Lebih lanjut, Isnur mengingatkan untuk memberikan perlakuan hukum yang adil kepada beberapa kelompok rentan seperti perempuan, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia ketika berhadapan dengan hukum. “Diperlukan ketentuan dalam KUHAP untuk mengatur lebih lanjut mengenai tata cara pemenuhan hak-hak tersebut di stage operasional,” jelasnya.
Isnur mengapresiasi RDPU yang diadakan oleh Komisi III. Namun, ia tetap mengingatkan kepada pimpinan di Komisi III untuk tidak tergesa-gesa dalam mengesahkan RKUHAP.
“Hari ini komitmennya jelas, bahwa discussion board ini akan dibuka lebih luas termasuk bukan hanya pada tahap sinkronisasi tetapi bahkan pada perubahan substansi. Kekhawatiran kami sering terjadi di undang-undang yang lain, tiba disahkan sebelum pembahasan yang panjang,” katanya.