YLBHI Catat Puluhan Tindakan Represif Aparat saat Demo Kawal Putusan MK
TEMPO.CO, Jakarta – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI mencatat sejumlah kasus tindakan represif aparat keamanan saat demo Kawal Putusan MK di sejumlah daerah. Ketua YLBHI Muhammad Isnur mengatakan terdapat puluhan tindakan represif, intimidasi, hingga kekerasan terhadap massa aksi.
Dia menyoroti kasus represif aparat yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, hingga Jakarta. Di Semarang, ujarnya, YLBHI memantau adanya penembakan gasoline air mata dan pemukulan kepada massa aksi oleh polisi. “Setidaknya 18 massa aksi harus dilarikan ke rumah sakit,” katanya dalam keterangan tertulis, Jumat, 23 Agustus 2024.
Intimidasi aparat keamanan juga dialami massa aksi Kawal Putusan MK di Makassar. Isnur mengungkapkan, aparat keamanan membubarkan demonstran usai istri Presiden Joko Widodo, Iriana Jokowi hendak melewati jalan yang sedang digunakan massa aksi.
Sementara di Bandung, YLBHI mencatat ada 31 orang massa aksi Kawal Putusan MK mendapat tindakan kekerasan aparat keamanan. Isnur mengatakan, dua orang di antaranya mengalami luka sobek di bagian kepala.
“Selain itu dua orang masih belum diketahui keberadaannya hingga siaran pers ini disiarkan,” ucapnya.
Aksi Kawal Putusan MK di Jakarta juga diwarnai tindakan represif aparat keamanan. Ia mengatakan, polisi menembakkan gasoline air mata kepada massa aksi yang berhasil merobohkan pagar Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR.
“Pasca kerumunan terpecah, aparat kepolisian mulai memburu mahasiswa dan pelajar,” ujar Isnur.
Dia mengatakan, sejumlah massa aksi Kawal Putusan MK dikeroyok oleh aparat keamanan. Aparat, kata dia, memukul massa aksi dengan tongkat, serta menendang.
Isnur mengatakan, hingga Kamis malam, 22 Agustus 2024 lembaganya menerima laporan sebelas massa aksi terkonfirmasi ditangkap aparat kepolisian. Satu orang lainnya mendapatkan doxing.
“Pengaduan yang masuk di TAUD hingga pukul 21.30 ada 26 laporan,” katanya.
Iklan
Ia mengungkapkan, puluhan laporan itu berupa tindakan kekerasan, doxing, sampai penangkapan oleh aparat keamanan. Ia juga mengatakan, ratusan massa aksi justru ditangkap ketika sedang menuju lokasi aksi.
Dia menyatakan, tindakan represif aparat keamanan merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan inside Kapolri. Isnur menyebutkan, dalam peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 menyatakan bahwa pihak kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan bahkan di saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali.
“Kami meminta Kapolri untuk memerintahkan anak buahnya berhenti melakukan kekerasan kepada massa aksi yang melakukan demonstrasi,” katanya.
Aksi Kawal Putusan MK berlangsung di depan Gedung DPR, Jakarta. Aksi ini diikuti oleh buruh, aktivis, mahasiswa, akademikus, hingga selebritas. Aksi Kawal Putusan MK juga berlangsung di sejumlah daerah lain.
MK melalui Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 25 persen perolehan suara partai politik atau gabungan partai politik, atau 20 persen kursi DPRD, menjadi hanya 6,5-10 persen suara sesuai dengan jumlah penduduk.
MK juga menyatakan batas usia minimum calon gubernur adalah 30 tahun dan calon bupati atau wali kota 25 tahun saat ditetapkan oleh KPU. Putusan ini tertuang dalam Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Namun, sehari setelah MK mengeluarkan putusan, Badan Legislatif DPR RI merevisi UU Pilkada dan menafsirkan ambang batas hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD. DPR juga menyatakan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung saat dilantik. Hal ini memicu kemarahan publik.
Pilihan editor: Singgung Revisi UU Pilkada, Mahfud Md: Itu Hanya Upaya Loloskan Kaesang