PKPU Pilkada Mengadaptasi Putusan MK, Peneliti LSJ UGM: Terus Kawal, Waspadai Akal-akalan Konstitusi
TEMPO.CO, Jakarta – Pada 25 Agustus 2024, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP), revisi PKPU Nomor 8 Tahun 2024 telah disepakati akan mengikuti putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Rapat revisi PKPU Pilkada tersebut berlangsung selama sekitar 30 menit.
“Sebelum saya membacakan kesimpulan, kita sudah sama-sama tahu bahwa draf PKPU tentang perubahan atas Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2024 ini sudah mengakomodir, tidak ada kurang tidak ada lebih, dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60 dan 70,” kata Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia. Setelah disetujui oleh peserta rapat, Doli mengetok palu tanda pengesahan PKPU Pilkada.
Sebelumnya, Putusan MK nomor 60 dan 70 menuai kontroversi lantaran DPR menganulir untuk dimasukkan dalam RUU Pilkada. Namun, saat ini putusan tersebut sudah tertuang dalam PKPU untuk Pilkada 2024 yang mendapat tanggapan dari peneliti Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial atau Middle for Legislation and Social Justice (LSJ) UGM, Markus Togar Wijaya.
Markus menilai, sikap DPR dan KPU yang mengadopsi Putusan MK dalam PKPU Pilkada memberi angin segar bagi hukum dan demokrasi. Namun, ia menggarisbawahi dua hal penting.
“Pertama, pemerintah selalu mencari akal guna mengakali konstitusi kita. Mungkin pengakalan tersebut tidak dilakukan hari ini, tetapi bisa jadi di hari-hari berikutnya. Kedua, adalah revisi dan pembuatan UU (Undang-Undang) yang sama piciknya dengan UU Pilkada, di antaranya Revisi UU TNI-polri, RUU penyiaran, dan RUU Perampasan Aset,” kata Markus kepada Pace.co, pada 28 Agustus 2024.
Atas dua kondisi tersebut, Markus menegaskan bahwa napas perjuangan jangan hanya berhenti dalam permasalahan Pilkada 2024. Sebab, menurutnya ada negosiasi licik negara di balik layar berusaha menggolkan UU yang berbahaya bagi demokrasi. Meskipun PKPU Pilkada telah memasukkan Putusan MK, tetapi demokrasi Indonesia sampai sekarang masih terancam dan berada dalam keadaan sakit.
“Coba bayangkan, untuk membatalkan revisi UU Pilkada yang berusaha mengakali Putusan MK, ada banyak hal yang harus dikorbankan. Mahasiswa dan aktivis ditangkap, diserang, hingga mendapat teror melalui media sosial,” kata Markus.
Markus menyampaikan, kehadiran gerakan sosial menolak revisi UU Pilkada menjadi suatu upaya untuk menegakkan kembali hukum dan demokrasi yang telah tertidur pulas selama rezim Jokowi. Namun, gerakan sosial ini belum bersifat ultimate atau selesai karena masih banyak permasalahan hukum lain yang perlu direspons, dikritisi, dan dilawan bersama. Akibatnya, pengesahan PKPU Pilkada tetap harus dikawal dalam pelaksanaannya.
Markus juga menyoroti pengesahan PKPU Pilkada ini berdampak pada Koalisi Indonesia Maju (KIM). Ia menyatakan, KIM dapat terpecah karena dua alasan mendasar.
“Pertama, judicial overview UU Pilkada (Putusan MK nomor 60) diajukan oleh partai Gelora yang merupakan anggota KIM Plus. Artinya, dalam hal ini sudah terjadi perpecahan interior KIM Plus. Kedua, Putusan MK Nomor 60 memberikan keleluasaan partai atau gabungan partai peserta Pemilu untuk mengajukan calon kepala daerah, meski tidak punya kursi di DPRD,” ujarnya.
Dua alasan tersebut membuat Markus meyakini adanya perpecahan KIM dalam Pilkada 2024. Pengesahan PKPU Pilkada ini juga membuat partai politik yang tergabung KIM dapat memiliki lebih banyak keleluasaan mengajukan calon tanpa harus bertumpu dengan Partai Gerindra.
RACHEL FARAHDIBA R | SULTAN ABDURRAHMAN
Pilihan Editor: Usai Peringatan Darurat Ribuan Akademisi UGM Keluarkan Pernyataan Sikap Darurat Demokrasi