Program Kampus Merdeka Disebut Mempengaruhi Peningkatan Kualitas Demokrasi
TEMPO.CO, Jakarta — Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengatakan, kampus saat ini disibukkan dengan kurikulum Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Kebijakan itu membuat semua program studi memangkas 20 satuan kredit semester atau SKS (jam kuliah) untuk MBKM.
“Padahal, jam kuliah itu bisa dimanfaatkan untuk memberikan pemahaman lebih baik soal demokrasi. Hal itu juga penting untuk pemahaman prinsip negara demokrasi,” kata Susi dalam Indonesia Integrity Discussion board 2024 yang diadakan Transparency Global Indonesia di Jakarta, Kamis 10 Oktober 2024.
Dia menjelaskan, mahasiswa merupakan kaum intelektual yang bisa diandalkan dalam meningkatkan kualitas demokrasi. Mahasiswa mendapatkan pendidikan di bangku kuliah dengan tujuan memunculkan pemikiran dan sikap kritis terhadap suatu masalah.
Menurut Susi, pembangunan demokrasi memerlukan warga yang kompeten dan terdidik. Kaum intelektual merupakan kalangan yang bisa diandalkan. Kaum intelektual itu ada biasanya berada di kampus-kampus. Dalam membentuk kaum intelektual itu, bisa juga melalui sekolah aktivis. Kaum intelektual bisa turun ke masyarakat untuk memberikan pengajaran. Namun, pendidikan kaum intelektual itu dihambat dengan adanya program MBKM.
Pada kesempatan sama, Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi mengatakan, masyarakat Indonesia terlalu menerima dan tidak kritis terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, Burhanuddin mengatakan, banyak peyanan publik dan kebijakan pemerintah yang kurang tepat.
Pandangan itu melihat hasil survei International Happiness Document 2024 yang menempatkan Indonesia sebagai urutan kedua negara paling Bahagia di dunia. “Masyarakat terlalu menerima. Terlalu pasrah, gagal mengaitkan apa yang mereka alami dengan pelayanan publik,” ujar Burhanuddin.
Dia menilai, pandangan itu tidak bisa dilepaskan dari tingkat pendidikan masyarakat. Knowledge terbaru menunjukkan sebanyak 57 persen masyarakat hanya lulus sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), bahkan tidak bersekolah. Dengan tingkat pendidikan itu, menurut Burhanuddin, pandangan demokrasi masyarakat berbeda dengan pengertian demokrasi masyarakat sipil.
Iklan
Masyarakat melihat demokrasi dari sudut pandang ekonomi. Sepanjang menghasilkan ekonomi baik, maka demokrasi dianggap baik. Ukuran ekonomi itu pun hanya sebatas ada atau tidaknya inflasi. “Buat masyararakat kita kalau inflasi rendah, mereka beranggapan bahagia,” ujar Burhanuddin.
Dalam kesempatan yang sama, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Mahfud Md mengatakan, survei kepuasaan rakyat atas demokrasi tidak bisa dijadikan ukuran untuk memperbaiki kualitas demokrasi. Menurut Mahfud, rakyat tidak memahami substansi demokrasi. Mereka hanya memahami demokrasi prosedural. Hal ini karena pengaruh dari tingkat pendidikannya.
“Kalau mau memperbaiki demokrasi, tidak bisa berpedoman pada survei. Jika melalui survei, kalau ada pemimpin baru, pasti masyarakat akan suka lagi. Rakyat tak mengerti substansi demokrasi,” kata Mahfud. Survei tak bisa menjadi rujukan karena selama ini rakyat memandang demokrasi baik-baik saja. Padahal, rakyat tidak tahu bahwa keadaan itu sebetulnya tidak baik dari sudut pandang demokrasi. “Karena itu rakyat harus dididik,” kata Mahfud.
Dia lebih setuju perbaikan demokrasi dilakukan pada tingkat elite dan kamu terdidik. Namun, masalahnya DPR disebut sebagai pihak yang merusak demokrasi. Mereka juga disebut tidak akan mau memperbaiki demokrasi. “Mereka yang buat rusak,lalu mana bisa,” kata Mahfud.
Pilihan Editor: