PBNU Anggap Dana Operasional BPKH Terlalu Besar
TEMPO.CO, Jakarta – Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Ishfah Abidal Aziz menganggap pengeluaran operasional Badan Pengelola Keuangan Haji atau BPKH terlalu besar. Ishaf mendorong adanya mekanisme penentuan hak operasional agar BPKH bisa lebih memperluas cakupan instrumen investasi untuk pendanaan haji.
“Operasional ini kita harus defisinisikan ulang. Selama ini haknya dari perolehan nilai manfaat 5 persen, kalau menurut saya terlalu besar,” kata Ishfah dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama panitia kerja haji Komisi VIII DPR RI, Kamis, 6 Maret 2025.
Menurut Ishfah dengan pengeluaran operasional 5 persen dari nilai manfaat itu, BPKH belum menunjukkan inisiatifnya dalam memperluas cakupan investasi. Ia menyayangkan cara lembaga itu yang masih berkutat dengan investasi sukuk dan surat berharga saja.
“Investasi langsung baru di Financial institution Muamalat di periode kemarin dan di BPKH Restricted. Selebihnya masih seperti yang dulu, berkutat di surat berharga dan sukuk,” ujar dia.
Ishfah mengusulkan agar ada mekanisme baru untuk menentukan sumber hak operasional BPKH. Menurut dia, mekanisme baru ini bisa mendorong lembaga pengelolaan dana haji itu lebih kreatif dalam mengatur instrumen investasi.
“Taruh lah umpamanya sekian persen dari nilai manfaat investasi langsung. Sehingga kemudian bisa lebih rasional,” kata dia.
Hingga saat ini dana kelolaan haji oleh BPKH terus bertumbuh dari tahun ke tahun. Pada dana kelolaan telah mencapai Rp 171,65 triliun. BPKH juga mencatat nilai manfaat juga tumbuh positif dan melampaui goal sebesar Rp 11,52 triliun menjadi Rp 11,56 T pada 2024.
“Hingga akhir 2024 general dana kelolaan BPKH mencapai Rp171,65 triliun. Secara persentase tercapai 101 persen di atas goal yang ditetapkan yaitu Rp169,95 triliun,” kata Kepala BPKH Fadlul Imansyah dalam rapat bersama Komisi VIII DPR, 6 Februari 2025.
Sementara itu, pada 2025, BPKH membidik dana kelolaan sebesar Rp 188,86 triliun. Untuk nilai manfaat, pada 2025 BPKH membidik angka Rp 12,89 triliun.