Logo Tempo

Perbedaan dan Persamaan Antara Konglomerasi dan Oligarki


TEMPO.CO, Jakarta Istilah konglomerat kembali menjadi pembicaraan hari-hari ini setelah Presiden Prabowo Subianto mengundang sejumlah taipan Tanah Air di Istana Negara, Jakarta pada Kamis, 6 Maret 2025. Langkah Prabowo itu mengingatkan akan kebijakan politik koncoisme Presiden ke-2 RI Soeharto yang merangkul erat para konglomerat.

Di era Orde Baru, konglomerat menguasai ekonomi Indonesia karena dekat dengan keluarga Cendana, julukan keluarga Seoharto sampai dasawarsa 1980-an. Bisnis-bisnis mereka merajalela seiiring penguasa politik memanfaatkan para pengusaha untuk dijadikan mesin uang, dengan imbalan diberi fasilitas dan kemudahan berbisnis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Konglomerat sendiri merupakan perusahaan besar dengan banyak anak perusahaan. Anak perusahaan ini berasal dari merger antara berbagai perusahaan yang menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda dan tidak ada kaitannya. Istilah konglomerat kemudian mendapat sentimen negatif seiring mendapatkan keistimewaan dari pemerintah era Soeharto.

Setelah Orde Baru runtuh pada 1998, masa kekuasaan konglomerat di pangsa ekonomi Indonesia tak sedominan di bawah rangkulan Soeharto. Namun, oligarki yang menjangkiti pemerintahan masih bertahan. Pakar politik dari Northwestern University, Jefrey Winter dalam bukunya “Oligarch” menyebut Indonesia mengalami dual transition pasca Soeharto lengser keprabon.

Transisi pertama adalah transisi yang lazim dikenal publik, yakni dari sistem politik diktator ke sistem politik yang lebih demokratis, seiring dengan liberalisasi ekonomi di sisi lainnya. Hanya transisi pertama ini yang akrab digaungkan di ruang publik, yang disampaikan oleh pengamat sampai politisi, dari akademisi sampai birokrat.

Sementara transisi lainnya, jarang disebut-sebut, transisi yang diteorikan oleh Jeffrey A. Winters, yaitu transisi dari satu model oligarki ke model oligarki lainnya. Yakni dari “Sultanic oligarch” yang telah berhasil dijinakkan oleh Soeharto beralih ke “ruling oligarch” yang tidak lagi terkontrol oleh pemerintahan baru yang terbentuk pasca Orde Baru.

Walhasil, kata Winters, Indonesia sebenarnya tak bertransisi dari otoritarianisme ala Soeharto ke demokrasi. Tapi justru dari otoritarianisme bertransisi ke “criminal democracy” di mana para oligar bergerilya di dalam sistem politik, membeli pengaruh di dalam partai-partai politik, bahkan terlibat langsung di dalam pembentukan dan operasionalisasi partai-partai.

Pada awalnya, model kriminal demokrasi ini berlangsung secara terselubung, mengekor di belakang proses demokrasi elektoral. Para oligar ikut mendorong proses demokratisasi secara masif, berusaha menjauhkan kekuasaan dari peluang-peluang koruptif oleh satu tangan, lalu memungutnya pelan-pelan, memindahkannya ke dalam grup-grup bisnis, yang akan menambah daya tekan para oligar terhadap kekuasaan.

Di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, para oligar berkeliaran di dalam sistem politik, membuat kepemimpinan nasional kala itu dicanda sebagai kepemimpinan paling plin-plan sepanjang sejarah, kepemimpinan yang lama dalam berkeputusan, karena harus mempertimbangkan berbagai kepentingan oligar yang wara-wiri di dalam sistem ekonomi politik nasional.

Di saat Indonesia bergeser ke era Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi, para oligarki semakin leluasa. Mereka tidak saja berkuasa di ranah politik, tapi sudah masuk ke dalam sistem pemerintahan, menduduki pos-pos kementerian yang strategis secara ekonomi dan politik, alias langsung memberi tekanan dan pengaruh kepada penguasa baru di ruang rapat yang sama.

“Di mana penguasa barunya dipoles seolah-olah sangat populis dan merakyat, tapi sangat bergantung kepada para oligar dalam setiap keputusan yang diambil,” tulis Winters.

Salah satu indikasi adanya oligarki dalam pemerintahan Jokowi adalah lolosnya pembahasan revisi Undang-Undang (RUU) Komisi Pemberantasan Korupsi, RUU Pemasyarakatan, dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Beleid-beleid itu berisi regulasi janggal pelemahan KPK dan pembungkaman demokrasi yang menjadi pintu masuk bagi oligarki untuk menguasai politik Indonesia.

Dosen Universitas Diponegoro Semarang, Wijayanto, mengatakan, dalam sepanjang era reformasi, baru pada masa Jokowi inilah kaum oligarki mendapat kemenangan besar. Ia menyebut keberadaan oligarki bermula pada masa Orde Baru. Di bawah pemerintahan Soeharto, kelompok ini mengontrol pemilu dan menguasai perekonomian. Kini, di era reformasi, mereka kembali dengan membajak sistem demi mempertahankan kekuasaan dan kekayaannya.

“Siapa yang bisa memberi uang paling banyak, tentu para oligark ini yang memang sudah kaya dan berkuasa duluan,” ucap Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini pada 2019 silam.

Konglomerat dan oligarki merupakan dua istilah yang sering digunakan untuk menggambarkan kelompok orang atau perusahaan yang memiliki pengaruh besar dalam ekonomi dan politik suatu negara. Namun, ada perbedaan serta kesamaan antara keduanya. Lantas apa perbedaan serta persamaan antara konglomerat dan oligarki ini?

Perbedaan konglomerat dan oligarki

Konglomerat adalah sekelompok perusahaan atau individu yang memiliki bisnis yang beragam dan luas, seringkali dengan fokus pada industri tertentu. Mereka biasanya memiliki pengaruh besar dalam ekonomi karena ukuran dan jangkauan bisnis mereka. Konglomerat dapat memiliki pengaruh politik, tetapi tidak selalu memiliki kontrol langsung atas kekuasaan politik.

Sedangkan oligarki adalah sekelompok orang atau keluarga yang memiliki kontrol langsung atas kekuasaan politik dan ekonomi suatu negara. Mereka acap kali memiliki bisnis yang luas dan beragam, tetapi pengaruh mereka lebih besar dalam bidang politik. Oligarki umumnya dapat memiliki kontrol atas media, keuangan, dan sumber daya alam, serta memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan publik.

Kesamaan konglomerat dan oligarki

1. Pengaruh ekonomi yang besar

Konglomerat dan oligarki sama-sama memiliki pengaruh besar dalam ekonomi suatu negara, baik melalui bisnis yang luas dan beragam maupun melalui kontrol atas sumber daya alam dan keuangan.

Konglomerat dan oligarki memiliki kekuatan politik yang signifikan, baik melalui kontrol langsung atas kekuasaan politik (oligarki) maupun melalui pengaruh tidak langsung (konglomerat).

Konglomerat dan oligarki juga sama-sama memiliki jaringan yang luas dan kompleks, baik dalam bidang bisnis, politik, maupun sosial.

Keduanya memiliki akses ke sumber daya yang luas, baik dalam bidang keuangan, sumber daya alam, maupun teknologi.

5. Pengaruh terhadap kebijakan publik

Keduanya memiliki pengaruh terhadap kebijakan publik, baik melalui kontrol langsung atas kekuasaan politik maupun melalui pengaruh tidak langsung.

Sebelumnya, Pertemuan Prabowo dengan sejumlah taipan terungkap berdasarkan unggahan akun Instagram resmi Sekretariat Kabinet. Ada delapan pengusaha besar di Indonesia yang diundang Prabowo, yakni Anthony Salim, Sugianto Kusuma atau Aguan, Prajogo Pangestu, Boy Thohir, Franky Oesman Widjaja, Dato Sri Tahir, James Riady, dan Tomy Winata.

“Pada kesempatan tersebut, Presiden Prabowo berdiskusi mengenai perkembangan terkini di Tanah Air dan dunia global, serta program-program utama yang tengah dijalankan oleh pemerintah, termasuk program Makan Bergizi Gratis, infrastruktur, industri tekstil, swasembada pangan dan energi, industrialisasi, hingga Badan Pengelola Investasi Danantara,” tulis akun Instagram @sekretariat.kabinet.

Eka Yudha Saputra, Jannus TH Siahaan, Adam Prireza, dan Maya Ayu Puspitasari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *