Kemenhan: Operasi Militer di Ruang Siber Tergetkan Pihak yang Lemahkan Kepercayaan kepada Pemerintah
TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Biro (Karo) Infohan Setjen Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Brigjen TNI Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang mengatakan, TNI akan melakukan operasi informasi dan disinformasi untuk menanggulangi ancaman kedaulatan negara di ruang siber. Operasi itu menargetkan pihak-pihak yang memiliki motif melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan dan pemerintah.
“Hingga yang berpotensi memecah belah bangsa,” kata Frega saat dihubungi pada Ahad, 23 Maret 2025.
Operasi itu dilakukan setelah TNI dilibatkan menanggulangi ancaman di ruang siber. Keterlibatan itu tertuang dalam UU TNI yang baru saja disahkan pada Kamis, 20 Maret 2025.
Militer, kata Frega, akan menanggulangi penyerangan terhadap sistem pertahanan dan komando militer di ruang siber. Bentuk ancamannya seperti peretasan, sabotase virtual, atau pencurian knowledge strategis.
Tidak hanya itu, militer akan menanggulangi ancaman terhadap infrastruktur kritis nasional, seperti serangan terhadap jaringan listrik dan telekomunikasi.
“Penanggulangan juga terhadap transportasi dan beberapa lainnya yang dapat berdampak pada stabilitas negara,” kata dia.
Frega menambahkan, militer juga akan menanggulangi serangan siber dari aktor negara atau non-negara yang berdampak pada keamanan nasional. Serangan itu bisa dalam bentuk spionase maupun cyber battle.
Menurut Frega, tujuan revisi UU TNI memasukkan tugas penanggulangan ancaman siber dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) sebagai respons terhadap perkembangan teknologi dan dinamika ancaman world. Dalam hal ini, TNI berperan dalam menghadapi serangan siber yang dapat mengancam pertahanan negara, baik dalam aspek keamanan nasional maupun operasional militer.
“Hal ini bertujuan untuk melindungi infrastruktur essential pertahanan serta mendukung stabilitas keamanan nasional, termasuk dalam konteks virtual. Siber menjadi sebuah area penting dalam operasi militer,” kata dia.
Revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau UU TNI telah disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR pada Kamis, 20 Maret 2025. Terdapat sejumlah perubahan dalam revisi UU TNI, di antaranya mengenai kedudukan koordinasi TNI, penambahan bidang operasi militer selain perang (OMSP) seperti penanggulangan ancaman siber, penambahan jabatan sipil yang bisa diisi TNI aktif, serta perpanjangan masa dinas keprajuritan atau batas usia pensiun.
Pengesahan revisi UU TNI dilakukan di tengah gelombang penolakan berbagai kalangan, dari masyarakat sipil hingga mahasiswa. Kelompok masyarakat sipil menganggap proses pembahasan RUU TNI terburu-buru dan minim keterlibatan partisipasi publik. Mereka juga khawatir tentara dapat menduduki jabatan sipil, sehingga meminta TNI tetap di barak.
Direktur Eksekutif SAFEnet Nenden Sekar Arum mengatakan revisi tersebut mengancam ruang virtual bagi masyarakat sipil. Nenden menolak UU TNI ini karena berpotensi mengembalikan supremasi militer di Indonesia.
“Menolak perluasan fungsi TNI dalam ranah sipil termasuk ruang virtual karena akan mengembalikan supremasi militerisme di Indonesia,” kata Nenden dalam keterangan tertulisnya, Rabu, 19 Maret 2025.
Nenden mengatakan, keterlibatan TNI di ruang siber berpotensi disalahgunakan untuk membuka keran militerisasi ruang siber. Militerisasi itu akan melahirkan kebijakan penyensoran hingga pengetatan regulasi.
“Militerisasi ruang siber dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang koersif-militeristik seperti penyensoran, operasi informasi, hingga pengetatan regulasi terkait ekspresi bold,” kata dia.