Soal Penyelesaian Sengketa 4 Pulau Aceh-Sumut, Ini Kata Yusril dan JK
MENTERI Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra dan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) memberikan pandangannya mengenai penyelesaian sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara atau Sumut.
Perselisihan batas wilayah antara Aceh dan Sumut mencuat setelah penetapan kodifikasi wilayah oleh pemerintah pusat yang memicu penolakan dari sejumlah pihak di Aceh. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memutuskan empat pulau di kawasan Aceh Singkil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
Pengalihan standing empat pulau ini termaktub dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Knowledge Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang terbit pada 25 April 2025. Keempat pulau tersebut adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan Kepmendagri itu telah melewati kajian letak geografis dan pertimbangan keputusan yang melibatkan berbagai instansi. Tito menyebutkan Kementerian Dalam Negeri harus menetapkan batas wilayah empat pulau tersebut karena berkaitan dengan penamaan pulau yang harus didaftarkan kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Kami terbuka terhadap evaluasi atau gugatan hukum, termasuk ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Silakan saja,” kata Tito di Istana Kepresidenan pada Selasa, 10 Juni 2025.
Yusril: Batas Wilayah 4 Pulau Sengketa Aceh-Sumut Ditetapkan Lewat Permendagri
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan standing empat pulau yang menjadi sengketa Aceh dan Sumatera Utara hanya bisa ditetapkan lewat Peraturan Menteri Dalam Negeri atau permendagri.
Yusril menyebutkan pemerintah pusat biasanya menyerahkan kepada daerah untuk bermusyawarah menentukan sendiri batas-batas wilayahnya. Tidak jarang pula pemerintah pusat memfasilitasi dan menjadi penengah dalam menyelesaikan masalah tapal batas daerah. “Hasil kesepakatan itu dituangkan dalam permendagri,” kata Yusril kepada Pace pada Senin, 16 Juni 2025.
Dia menegaskan penetapan batas wilayah dilakukan dengan permendagri, bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri atau kepmendagri. Sehingga, sampai saat ini, pemerintah pusat belum memutuskan apa pun ihwal standing empat pulau tersebut.
Pakar hukum tata negara itu menjelaskan Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 baru mengatur pemberian kode pulau-pulau yang memang tiap tahun dilakukan. Dia mengatakan pengodean empat pulau yang terakhir memang didasarkan atas usulan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Namun pemberian kode pulau melalui Kepmendagri belum berarti keputusan yang menentukan pulau-pulau tersebut masuk ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. “Sebab penentuan batas wilayah daerah harus dituangkan dalam bentuk permendagri,” ujarnya.
Yusril mengatakan Presiden Prabowo Subianto berwenang memutuskan standing 4 pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumut. Pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada daerah untuk menyelesaikan sengketa perbatasan mereka. Namun, apabila perundingan berakhir buntu, pemda yang bersengketa bisa meminta pemerintah pusat untuk penyelesaiannya.
“Pemerintah Pusat RI itu dipimpin oleh Presiden. Presiden berwenang memutuskan empat pulau tersebut masuk wilayah kabupaten atau provinsi mana,” kata Yusril.
Menurut dia, pelaksanan penetapan standing dilakukan melalui permendagri sesuai dengan amanat Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berlaku. “Menteri Dalam Negeri sebagai pembantu Presiden tinggal melaksanakan apa yang diputuskan oleh Presiden,” tuturnya.
Yusril Sebut Perjanjian Helsinki Tak Bisa Jadi Rujukan
Yusril menuturkan Perjanjian Helsinki tidak bisa dijadikan rujukan menentukan kepemilikan empat pulau yang menjadi sengketa antara Aceh dan Sumut.
Dia menambahkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara juga tidak bisa menjadi rujukan.
“Perjanjian Helsinki enggak masuk. Dari UU 1956 itu juga enggak. Kami sudah pelajari hal itu,” kata Yusril.
Menurut Yusril, UU Nomor 24 Tahun 1956 tidak menyebutkan standing empat pulau yang menjadi sengketa. Dia mengatakan batas wilayah itu muncul pasca-Reformasi dan setelah adanya pemekaran provinsi serta kabupaten/kota.
Pemekaran wilayah ini menimbulkan banyak masalah perbatasan. Namun Yusril mengatakan pemerintah selama ini bisa dengan baik menyelesaikan sengketa pulau atau perbatasan. Dia menjelaskan, di masa lalu, undang-undang yang membentuk provinsi, kabupaten, dan kota dirumuskan secara sederhana tanpa batas-batas yang jelas, apalagi menggunakan titik koordinat seperti yang digunakan sekarang.
JK: Kepemilikan Aceh atas 4 Pulau Tak Bisa Dibatalkan dengan Kepmen
Adapun mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumut adalah milik Aceh. “Secara formal dan historis, empat pulau itu masuk wilayah Singkil, Provinsi Aceh,” kata pria yang akrab disapa JK itu dalam keterangan resmi yang diterima di Jakarta pada Ahad, 15 Juni 2025.
JK mengatakan, secara historis, kepemilikan Aceh atas pulau itu berkaitan dengan kesepakatan perundingan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia, pada 2005.
Dalam perundingan itu disepakati perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan yang dicantumkan dalam UU Nomor 24 Tahun 1956 yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno. UU tersebut menetapkan Provinsi Aceh sebagai daerah otonom dan memisahkan wilayah tersebut dari Sumut.
“Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, bahwa itu secara historis memang masuk Aceh, Aceh Singkil, bahwa letaknya dekat Sumatera Utara itu biasa,” kata dia.
Mantan Ketua Umum Partai Golkar ini juga menilai UU itu memiliki kedudukan lebih tinggi dari Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025. Kepmendagri itu menyatakan empat pulau tersebut adalah bagian dari Sumut. Karena itu, kepemilikan Aceh atas empat pulau itu tidak bisa dibatalkan dengan keputusan menteri. “Jadi tidak mungkin bisa dibatalkan dengan Kepmen. Kepmen tidak bisa mengubah UU,” kata JK.
Eka Yudha Saputra, Dinda Shabrina, Hendrik Yaputra, Dian Rahma Fika, dan Ervana Trikarnaputri berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Untuk Apa TNI AD Akan Merekrut 24 Ribu Prajurit