Sejumlah Usulan dalam Pembahasan Revisi UU Penyiaran
KOMISI I DPR sedang membahas revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Anggota Komisi I DPR Nurul Arifin memastikan pihaknya akan mempercepat penyusunan daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi UU Penyiaran tersebut.
Politikus Partai Golkar ini menuturkan pihaknya akan menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) sekali lagi. “Setelah itu, kita finalisasi untuk menyusun RUU ini. Mudah-mudahan bisa lebih cepat,” kata dia di Jakarta, Kamis, 19 Juni 2025, seperti dikutip dari Antara.
Setelah disusun, kata dia, Komisi I DPR selaku pembahas regulasi di bidang komunikasi itu akan mengirimkan DIM revisi UU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Kemudian, DIM akan diteruskan kepada pemerintah.
“Memang butuh waktu secara sistem, tapi mudah-mudahan, paling tidak kita bisa cepat ada undang-undang yang mengatur semua ini karena kita tahu bahwa media sekarang dalam situasi yang sangat memprihatinkan,” ujarnya.
Nurul menuturkan pihaknya akan segera memanggil pihak perwakilan platform virtual untuk membahas posisi media over-the-top (OTT) atau penyedia layanan siaran konten bold dalam revisi UU Penyiaran.
“Masih ada PR (pekerjaan rumah) di kami sedikit. Oleh karena itu, kami akan sesegera mungkin mengundang platform virtual yang besar, seperti YouTube, Netflix, dan TikTok supaya kita menemukan suatu kesepakatan,” kata dia.
Adapun Wakil Menteri Komunikasi dan Virtual (Komdigi) Nezar Patria mengatakan pihaknya sedang menunggu DIM dari DPR. Ketika draf telah diterima, Komdigi dan Kementerian Hukum akan menyegerakan penyusunan revisi UU Penyiaran.
“Kita mungkin akan membuat diskusi juga dengan ekosistem yang ada untuk memperkaya DIM. Kita lihat mana lubang-lubang dari draf itu yang bisa coba diusulkan dari perspektif Komdigi. Kementerian Hukum juga akan melihat harmonisasinya dengan aturan-aturan yang ada,” katanya pada kesempatan yang sama.
Anggota DPR Usul Platform Virtual Diatur dengan UU Tersendiri
Anggota Komisi I DPR Abraham Sridjaja mengusulkan agar platform virtual layanan OTT seperti Netflix, TikTok, hingga YouTube diatur dengan UU tersendiri yang berbeda dengan UU Penyiaran.
Menurut dia, RUU Penyiaran yang sudah digagas lebih dari satu dekade lalu tidak lagi memadai karena tidak mencakup platform virtual hingga OTT, sehingga menciptakan kekosongan hukum dan ketimpangan pengawasan antara media konvensional dan virtual.
“Terjadi kekosongan hukum. TV konvensional merasa hanya mereka yang diawasi, sementara platform virtual tidak,” kata Abraham di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa, 16 Juni 2025.
Politikus Partai Golkar ini menilai definisi ‘penyiaran’ dalam RUU perlu dipertajam agar tidak menimbulkan kerancuan dalam praktik pengawasan. RUU Penyiaran yang berfokus pada siaran melalui gelombang radio, kata dia, harus terpisah dengan konten virtual yang perlu diatur tersendiri.
“Kalau semua digabung, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) akan jadi superpower. Maka OTT sebaiknya diatur dalam UU lain. Di Amerika, misalnya, ada FCC untuk TV konvensional dan lembaga lain untuk OTT,” katanya.
Dia pun mengingatkan revisi UU Penyiaran harus menghindari tumpang tindih kewenangan antara lembaga pengawas seperti KPI, Dewan Pers, dan Direktorat Pengawasan Ruang Virtual di bawah Komdigi. Menurutnya, pengaturan yang serampangan berpotensi menciptakan konflik antarlembaga serta membuka celah penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum.
Di sisi lain, dia juga menyebutkan masyarakat resah terhadap konten vulgar di platform virtual yang tidak tersentuh sensor. Penanganan hal tersebut, menurut dia, tetap harus mengedepankan kerangka hukum yang jelas dan tidak tumpang tindih.
“Kalau mau dimasukkan, harus jelas sejak awal. Judulnya juga harus berubah, misalnya jadi RUU Penyiaran dan Konten Virtual. Kalau tidak, ini akan menimbulkan konflik kewenangan,” kata dia.
Akademisi: RUU Penyiaran Perlu Atur Media Lokal dan Kepemilikan Silang
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto Djoewanto mengatakan revisi UU Penyiaran perlu mengakomodasi dua isu penting, yakni media lokal dan kepemilikan silang.
Menurut dia, di samping lembaga penyiaran swasta, nasib lembaga penyiaran komunitas seperti media lokal perlu ikut diperhatikan dalam RUU Penyiaran yang tengah digodok DPR.
“Dalam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, kenapa sampai muncul ada entitas yang namanya lembaga penyiaran lokal? Saya kira ini arahnya adalah untuk penguatan-penguatan di lokal sehingga, menurut saya, juga penting untuk tetap diakomodasi,” ujarnya Saat diskusi ‘RUU Penyiaran: Peran Negara dalam Menjamin Keadilan Ekosistem Media’ di ANTARA Heritage Middle, Jakarta, Kamis.
Dia mengingatkan jangan sampai RUU Penyiaran menjadi semacam resentralisasi, yakni menarik kembali kewenangan penyiaran kepada pusat yang dikhawatirkan berpotensi mematikan media-media di daerah.
Ignatius menuturkan sedang meneliti ekosistem media. Dari knowledge yang dihimpun sejauh ini, dia menemukan banyak keluhan dari lembaga penyiaran yang beroperasi di daerah-daerah.
Sedangkan mengenai kepemilikan silang, dia menyebutkan hal itu perlu diatur agar tidak terjadi campur baur kepentingan ekonomi politik media. Menurut dia, publik berhak mendapatkan produk jurnalistik yang nihil bias.
“Lembaga penyiaran kita ini ada banyak yang partisan. Partisan ini tidak baik untuk demokrasi karena yang diterima oleh publik informasi yang bias,” katanya.
Komdigi: RUU Penyiaran Perlu Mendefinisikan Kembali Makna Broadcast
Dalam diskusi tersebut, Wakil Menteri Komdigi Nezar Patria mengatakan RUU Penyiaran perlu mendefinisikan kembali makna siaran atau broadcast.
“Tentu saja ada banyak catatan penting yang harus kita tatap ulang, termasuk mendefinisikan kembali yang sangat mendasar: apa itu yang kita sebut sebagai broadcast? Penyiaran itu apa sebetulnya sekarang?” kata dia.
Di tengah perkembangan teknologi yang kian pesat, semua orang bisa melakukan penyiaran, baik melalui terestrial maupun aliran langsung (streaming). Nezar lantas mempertanyakan apakah streaming termasuk ke dalam penyiaran (broadcasting).
“Jadi broadcast ini apa sekarang? Apakah yang terjadi broadcast atau narrowcast (penyiaran sempit)? Ini juga suatu diskusi,” katanya.
Menurut Nezar, RUU Penyiaran sepatutnya merumuskan hal yang sangat basic seperti pemaknaan penyiaran itu sendiri. Dia menyebutkan perlu diskusi dengan berbagai elemen untuk merumuskan makna istilah tersebut.
“Ini penting. Kalau kita merumuskan dengan cara yang tradisional, berarti kita mengabaikan perkembangan yang terbaru. Ada kegiatan broadcasting di luar yang kita kenal, lalu regulasinya bagaimana yang di sebelah situ? Ini menjadi pertanyaan,” tuturnya.
Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Kritik atas Penulisan Ulang Sejarah: Mengabaikan Perspektif Korban