Di Balik Wacana Revisi UU MK setelah Pemisahan Jadwal Pemilu
MAHKAMAH Konstitusi melalui Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional harus dilakukan terpisah dengan penyelenggaraan pemilu tingkat daerah atau kota (pemilu lokal). Dalam putusan yang dibacakan pada Kamis, 26 Juni 2025 itu, MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
MK mengabulkan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu atau UU Pemilu dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Pemilu nasional adalah pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029.
Menanggapi putusan MK itu, anggota Komisi II (bidang pemerintahan) DPR Muhammad Khozin menilai Mahkamah kerap melampaui batas dalam memutuskan suatu perkara. Salah satunya, putusan pemisahan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah itu.
Khozin menuturkan, dalam konstitusi, pembentuk undang-undang adalah DPR dan pemerintah. Sedangkan MK adalah penjaga konstitusi. Dia menilai Mahkamah semestinya tidak masuk terlalu jauh ke ruang legislator.
“(Apa mungkin akan dihidupkan revisi Undang-Undang MK?) Mungkin saja untuk membahas kewenangan,” kata Khozin di kompleks Parlemen pada Jumat, 4 Juli 2025.
Legislator Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menilai kondisi tersebut tidak bisa diabaikan karena dapat menjadi preseden buruk bagi sistem dan tata kelola pembentukan undang-undang. Karenanya, kata Khozin, harus ada pembahasan untuk menegaskan limitasi kewenangan MK agar tetap berada di jalurnya, bukan sebagai pembentuk undang-undang ketiga setelah DPR dan pemerintah.
“Kalau MK dinilai punya kewenangan untuk memproduksi suatu undang-undang, ya dilegitimasikan saja sekalian. Kira-kira begitu,” ujar legislator asal Jawa Timur itu.
DPR: Wacana Revisi UU MK Tak Terkait dengan Putusan soal Pemilu
Sementara itu, anggota Komisi III (bidang hukum) DPR Nasir Djamil mengatakan usul menggulirkan kembali revisi UU MK dilakukan untuk memperbaiki, bukan mengamputasi maupun mengerdilkan kewenangan MK. “Tidak ada kaitan dengan putusan pemisahan pemilu,” kata Nasir melalui pesan WhatsApp pada Selasa, 8 Juli 2025.
Menurut dia, usul revisi UU MK hanya kebetulan berdekatan waktunya dengan putusan pemisahan penyelenggaraan pemilu. Namun, mengenai sikap DPR yang cenderung resisten, dia mengatakan hal tersebut adalah dinamika yang wajar di alam demokrasi.
“Kalau ada professional kontra itu kan hal yang lumrah. Tetapi, saya pribadi mengatakan tidak ada upaya untuk mengamputasi kewenangan MK,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Adapun Wakil Ketua DPR Adies Kadir menegaskan tidak ada pembahasan mengenai revisi UU MK. “Undang-Undang MK tidak ada revisi,” kata dia usai sidang paripurna di kompleks parlemen pada Selasa.
Adies mengatakan RUU MK sudah dibahas anggota DPR periode 2019-2024. Dia mengatakan, saat itu, dia menjadi ketua panitia kerja. Politikus Partai Golkar ini mengatakan proses pembahasan UU MK saat itu memang tinggal menunggu rapat paripurna tingkat II.
“Tapi, sampai saat ini, belum ada pembicaraan dari pimpinan. Kalau ada kan dia di rapat pimpinan kemudian di badan musyawarah kan, tapi belum ada,” ujarnya.
Dalam laman resmi DPR, RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sudah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2024-2029. DPR sedang menyiapkan naskah akademik RUU tersebut.
Andi Adam Faturahman, Daniel Ahmad Fajri, dan Dede Leni Mardianti berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Alasan Kementerian dan Lembaga Minta Tambah Anggaran untuk 2026