Wakil Ketua DPR: Tidak Ada Revisi UU MK setelah Putusan Pemisahan Pemilu
TEMPO.CO, Jakarta – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR, Adies Kadir, menegaskan tidak ada pembahasan mengenai revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi atau MK. “Undang-Undang MK tidak ada revisi,” katanya usai sidang paripurna di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa, 8 Juli 2025.
Adies mengatakan RUU MK sudah dibahas anggota DPR periode 2019-2024. Politikus Golkar ini mengatakan saat itu dirinya merupakan ketua panitia kerja. Adies mengatakan proses pembahasan UU MK saat itu memang tinggal tunggu rapat paripurna tingkat II. “Tapi sampai saat ini belum ada pembicaraan dari pimpinan, kalau ada kan dia di rapat pimpinan kemudian di badan musyawarah kan, tapi belum ada,” katanya.
Wacana revisi UU MK menggelinding di tengah protes dari sejumlah legislator atas putusan mahkamah soal pemisahan pemilu nasional dan lokal. Salah satunya dari anggota Komisi bidang Pemerintahan DPR Muhammad Khozin.
“(Apa mungkin akan dihidupkan revisi Undang-Undang MK?) Mungkin saja untuk membahas kewenangan,” kata anggota Komisi II fraksi Partai Kebangkitan Bangsa ini di kompleks Parlemen, Jumat, 4 Juli 2025.
Khozin menilai Mahkamah Konstitusi kerap melampaui batas dalam memutuskan suatu perkara. Dalam konstitusi, pembentuk undang-undang adalah DPR dan pemerintah. Sedangkan, Mahkamah Konstitusi, kata Khozin, adalah penjaga konstitusi. Dia menilai Mahkamah semestinya tidak masuk terlalu jauh ke ruang legislator. “Kalau MK dinilai punya kewenangan untuk memproduksi suatu undang-undang, ya dilegitimasikan saja sekalian. Kira-kira begitu,” kata Khozin.
Selain Khozin, sejumlah legislator mengkritik putusan MK soal pemisahan pemilu. Anggota Komisi V DPR Fraksi Gerindra, Supriyanto bertentangan dengan konstitusi dan berpotensi merusak siklus demokrasi Indonesia. Supriyanto menyoroti implikasi jeda waktu imbas putusan tersebut. Menurut dia, pemilihan anggota DPRD yang tidak lagi berlangsung setiap lima tahun sekali bertentangan dengan Pasal 22E UUD 1945 yang mengatur pemilu lima tahunan untuk memilih presiden, wakil presiden, DPR, DPD, dan DPRD.
Dalam Putusan MK No. 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua Mahkamah Konstitusi Suhartoyo pada Kamis, 26 Juni 2025, mahkamah memutuskan penyelenggaraan pemilu di tingkat nasional terpisah dengan tingkat daerah. Pemilu nasional mencakup pemilu anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden, sementara pemilu lokal terdiri atas pemilu anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta pemilihan kepala dan wakil kepala daerah. Adapun perkara 135 ini diajukan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem.
Dengan putusan itu, pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 kotak” tidak lagi berlaku untuk Pemilu 2029. MK memutuskan pemilu lokal diselenggarakan paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun setelah pemilu nasional.
Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi atau MK tidak melanggar Pasal 22E Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 soal Pemilu. Enny mengatakan MK telah memberi mandat constitutional engineering atau rekayasa konstitusi kepada DPR dan Pemerintah selaku pembuat undang-undang untuk menindaklanjuti putusan soal pemisahan pemilu nasional dan lokal.
“Tidak ada pelanggaran karena MK juga menegaskan agar pembentuk UU melakukan constitutional engineering terkait dengan peralihannya. sebagaimana misalnya ketentuan peralihan yang pernah diatur dalam UU pilkada yang lalu untuk kepentingan pilkada serentak,” kata Enny, yang juga merupakan juru bicara MK, kepada Pace pada Senin, 7 Juli 2025. Menurut dia, rekayasa konstitusi dimaksud hanya untuk satu kali pemilihan sebagai konsekuensi masa transisi.
Enny menjelaskan putusan itu sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari putusan MK sebelumnya. Di menyinggung Putusan Nomor 55 Tahun 2019 yang telah menegaskan keserentakan pemilu. Dalam Putusan 55, MK menegaskan type keserentakan yang dapat ditentukan oleh pembentuk UU, termasuk salah satu modelnya adalah pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal.
Menurut Enny, dengan melihat praktik penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada yang berlangsung 2019, 2024, dan sebagai upaya mewujudkan pemilihan yang lebih demokratis ke depan dengan tetap menjaga keserentakan pemilu, “maka pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal menjadi hal yang konstitusional.”