Logo

Sejumlah Usulan Baru dalam Revisi KUHAP


KETUA Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Habiburokhman mengatakan DPR akan membuka kesempatan bagi masyarakat sipil memberi masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau RUU KUHAP hingga menjelang pengesahan di sidang paripurna. DPR menargetkan pembahasan revisi KUHAP akan rampung pada September 2025.

Habiburokhman menuturkan masukan dari masyarakat masih dimungkinkan meski pemerintah dan DPR telah membahas seluruh daftar inventaris masalah (DIM) RUU KUHAP.

“Kalau logika standarnya ketika di panitia kerja selesai, berarti sampai di paripurna tidak ada perubahan. Tetapi tidak demikian. Masih sangat mungkin bisa kalau sudah disetujui di tingkat pertama kalau ada usulan perubahan, ya, masih bisa,” ujar Habiburokhman dalam rapat dengar pendapat dengan sejumlah organisasi dan lembaga bantuan hukum di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, 14 Juli 2025.

Politikus Partai Gerindra ini menegaskan kelompok masyarakat sipil masih dapat mengusulkan perubahan-perubahan substansial dalam revisi KUHAP. Keputusan itu akan ditentukan oleh panitia kerja yang akan memutuskan apakah usulan bisa diterima atau ditolak.

Dia menyebutkan itu sebagai metode berlapis dalam pengesahan undang-undang agar tidak ada perubahan pasal-pasal yang terlewat. Menurut dia ketepatan isi pasal RUU KUHAP bisa terus dievaluasi ketika disahkan dalam rapat paripurna.

Habiburokhman mengatakan, saat ini, pembahasan revisi KUHAP sudah mencapai proses di tim perumus dan tim sinkronisasi, setelah pembahasan 1.676 DIM selesai di tingkat panitia kerja.

Sejumlah pihak menyampaikan usulan atau masukan dalam pembahasan RUU KUHAP yang sedang bergulir di DPR tersebut.

KPK Sebut KUHAP Bisa Atur Larangan Tahanan Pakai Masker

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak memandang RUU KUHAP bisa mengatur larangan tahanan memakai masker atau penutup wajah. “Saat ini kan RUU KUHAP dalam proses pembahasan di DPR. Nah, dalam KUHAP itu yang bisa mungkin ditambahkan,” ujar dia dalam keterangannya di Jakarta pada Jumat, 11 Juli 2025, seperti dikutip dari Antara.

Karena itu, dia mengajak media menyampaikan usulan tersebut kepada publik agar kemudian disampaikan kepada Komisi III DPR.

“Teman-teman media sampaikan ke publik, dan publik kemungkinan akan memberikan masukan kepada DPR untuk mengubah aturan ini, yakni apabila seseorang yang diduga melakukan tindak pidana korupsi ditangkap dan ditahan, kemudian perlu di-put up, nah itu harus diperlihatkan supaya mereka malu, dan ini perlu diatur dalam undang-undang,” kata Johanis.

Dia mengatakan, saat ini, belum ada aturan yang mengatur para tahanan dilarang memakai masker seolah menghindari wajahnya dari sorotan publik. 

“Kalau menutup wajah, pakai kacamata, dan sebagainya, memang belum ada larangan, belum ada aturan yang mengatur,” tuturnya. “Kalau memang itu diperlukan, dipandang perlu, dipandang baik, dipandang positif oleh masyarakat, saya kira masyarakat bisa menyampaikan kepada DPR RI.”

Ketua Komisi III DPR mengatakan bakal mengecek usulan dari KPK tersebut. Sejauh ini, dia mengaku belum mendapat usulan tersebut dari pihak KPK secara resmi. Menurut dia, Komisi III DPR pun terbuka untuk menerima aspirasi dari pihak mana pun. “Nanti kita cek. Kalau ada usulan, kita akan kaji,” kata Habiburokhman di kompleks parlemen, Senin.

LBH APIK Usul KUHAP Atur Militer Dipidana Umum Jika Lakukan KDRT

Adapun Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengusulkan revisi KUHAP mengatur agar prajurit TNI disidang di peradilan pidana umum jika melakukan kekerasan seksual atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Tuani Sondang Rejeki Marpaung mengatakan KUHAP perlu memisahkan antara pelanggaran militer dan pelanggaran pidana umum. Dengan revisi KUHAP, dia mengusulkan agar pidana umum berwenang mengadili tentara.

“Karena memang kasus-kasus kekerasan berbasis gender yang di mana pelakunya adalah prajurit TNI itu diproses di peradilan militer,” kata Tuani dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin.

Menurut dia, tentara seharusnya diadili di peradilan militer jika melakukan kejahatan perang atau kejahatan terhadap keamanan negara. Sedangkan untuk kasus KDRT hingga kekerasan seksual, prajurit perlu diproses dengan peradilan umum.

Dia menilai, sejauh ini, pasal-pasal yang digunakan oleh peradilan militer ketika memproses prajurit yang melakukan pelanggaran kekerasan tersebut hanya mengacu pada KUHP. Padahal, sudah ada Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang bisa jadi pedoman. “Dan kami melihat juga putusan-putusan itu sangat rendah. Perkosaan itu putusannya 9 bulan, 10 bulan, itu adalah pemerkosaan,” katanya.

Selain itu, kata dia, hak korban dalam kasus tersebut juga tidak terpenuhi karena peradilan militer yang tak menggunakan UU TPKS, Peraturan Mahkamah Agung, atau Peraturan Kapolri. “Mereka tidak mengenal itu. Jadi memang itu usulan kami supaya ditambahkan terkait koneksitas peradilan militer dan peradilan umum itu harus dipisahkan,” kata dia.

Komnas Perempuan Minta RUU KUHAP Jamin Perlindungan Perempuan Berhadapan dengan Hukum

Dalam kesempatan yang sama, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta agar RUU KUHAP dapat menjamin perlindungan terhadap hak asasi perempuan yang berhadapan dengan hukum.

Komisioner Komnas Perempuan Sri Agustini mengatakan RUU KUHAP sangat berdampak pada perempuan yang berhadapan dengan hukum, baik yang berstatus korban, saksi, maupun pelaku tindak pidana. Sebab, dalam proses penegakan hukum, perempuan kerap mendapat perlakuan berbeda dengan laki-laki karena identitasnya sebagai perempuan.

Karena itu, dia meminta RUU KUHAP dapat menjamin perlindungan hak perempuan sebagai kelompok rentan dengan cara mengacu pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma). “Ini mengacu pada Perma Nomor 3 tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum,” ujar Sri.

Salah satu poin usulan Komnas Perempuan dalam proses hukum adalah tentang larangan bagi hakim membuat pernyataan yang bersifat stereotipe atau stigma gender. Aturan itu dimuat dalam Pasal 202 DIM RUU KUHAP yang disusun oleh Komnas Perempuan.

Dalam DIM itu, komisi juga mengusulkan beberapa rumusan lain tentang upaya paksa. Sri mengatakan upaya paksa terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum harus memperhatikan kondisi khusus perempuan.

“Pasal 110 terkait penggeledahan, maka terkait perempuan berhadapan dengan hukum, petugas yang melakukan penggeledahan terhadap tubuh khususnya adalah petugas perempuan yang menghormati integritas tubuh,” kata Sri.

Dian Rahma Fika, Dede Leni Mardianti, Oyuk Ivani Siagian dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Pilihan editor: Kuota Haji 2026 Diumumkan Besok, Ini Upaya Pemerintah Tambah Kuota

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *