Pemerintah Dinilai Masih Bisa Siasati RUU Pilkada Dengan Menerbitkan Perppu, Ini Pengertian Perppu


TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Joko Widodo atau Jokowi menegaskan tidak akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang disingkat Perppu terkait Pilkada, pasca DPR RI menyatakan membatalkan pengesahan revisi UU Pilkada. Benarkah?

“Enggak ada, pikiran saja enggak ada, masa Perppu,” kata Jokowi usai menghadiri HUT Ke-26 Partai Amanat Nasional (PAN) sekaligus pembukaan Kongres Ke-6 PAN di Jakarta, Jumat, 23 Agustus 2024 dikutip dari Antaranews

Presiden juga memastikan bahwa Pemerintah akan mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang Pilkada. 

Sebelumnya, masyarakat Indonesia terus menerus menyuarakan aksi untuk mengawal Putusan MK yang diduga sempat akan dianulir oleh DPR RI. Aksi tersebut dilakukan secara langsung dengan turun ke jalan di berbagai daerah serta secara on-line di media sosial terutama di platform X dengan menaikkan tagar salah satunya #KawalPutusanMK.

Meski RUU Pilkada telah batal disahkan oleh DPR,  banyak warganet yang menilai bahwa upaya untuk menyiasati Putusan MK masih akan dilakukan oleh pemerintah, salah satunya dengan menerbitkan Perppu. 

Apa Itu Perppu? 
Dilansir dari laman resmi Mahkamah Konstitusi (MK), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan atau situasi darurat yang memaksa.

Adapun dasar hukum Perppu berasal dari Konsep Hukum Tata Negara Darurat serta Pasal 22 UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang.
(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

Iklan

Perppu juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan pada Pasal 7 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3). Namun menurut penjelasan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh sebagaimana tertulis di laman mkri.identity, pada penggunaan dan praktiknya, terbitnya sebuah Perppu tidak selalu dalam keadaan darurat. 

Ia menyebut, dalam keadaan biasa ketika akan mengesahkan suatu undang-undang, DPR turut serta sebagai pihak yang menyatakan persetujuan dan tidak atas disahkannya suatu undang-undang. Sementara dalam keadaan darurat, pada Pasal 12 UUD 1945 menyandingkan keadaan “bahaya” dan pada Pasal 22 UUD 1945 menyebutkan “dalam hal ihwal kegentingan memaksa” sebagai padanan terbitnya Perppu oleh Presiden.

“Jika melihat konsep hukum tata negara darurat, maka Perppu dapat disederhanakan lahir dengan syarat-syarat di antaranya adanya kepentingan tertinggi negara, yakni adanya atau eksistensi negara itu sendiri; peraturan itu harus mutlak atau sangat perlu; bersifat sementara selama keadaan masih darurat saja, dan sesudah itu diperlukan aturan biasa yang customary dan tidak lagi aturan darurat yang berlaku; dan ketika peraturan darurat itu dibuat, DPR tidak dapat mengadakan sidang atau rapat secara nyata dan sungguh atau sekarang dikenal dengan istilah reses,” jelas Hakim Konstitusi Daniel Yusmic dikutip Pace dari laman resmi MK pada Sabtu, 24 Agustus 2024.

Salah satu contoh penerbitan Perppu di Indonesia adalah Perppu Cipta Kerja yang diterbitkan oleh pemerintah tertanggal 30 Desember 2022 lalu. Perppu yang kini telah sah menjadi Undang-Undang itu menuai pro-kontra dari banyak pihak terutama masyarakat. 

Sementara itu, pemerintah menyebut bahwa penerbitan Perppu dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan mendesak dalam mengantisipasi kondisi world, baik yang terkait ekonomi maupun geopolitik, sebagaimana tertulis dalam laman resmi Sekretariat Kabinet RI.

Pilihan editor: Anies Baswedan Imbau Masyarakat Kawal Putusan MK hingga Akhir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *