Hendri Satrio Nilai Pemerintah Gagal Paham soal Tagar Indonesia Gelap dan Kabur Aja Dulu
TEMPO.CO, Jakarta – Pakar komunikasi politik Hendri Satrio mengatakan pemerintah gagal memahami tagar seperti Adili Jokowi, Kami Bersama Sukatani, IndonesiaGelap, dan Kabur Aja Dulu di media sosial.
Menurut pria yang dipanggil Hensa ini, tagar tersebut bukan sekadar tagar biasa, tetapi gerakan menuntut “name to motion” atau ajakan bertindak dari masyarakat.
“Ya jelas banyak yang khawatir. Penguasa memandang gerakan sosial rakyat hanya sebatas tagar, padahal cek saja #KaburAjaDulu, #KamiBersamaSukatani, #IndonesiaGelap, hingga #AdiliJokowi—it’s a choice to motion, bukan cuma sekadar tagar!” kata Hensa di akun pribadi X-nya, @satriohendri, 22 Februari 2025.
Pendiri lembaga survei dan konsultan politik KedaiKOPI ini menilai respons pemerintah yang dinilainya kontraproduktif. Sebab, pemerintah justru bersikap defensif dan mengabaikan suara-suara rakyat dalam tagar-tagar tersebut.
“Parahnya, tagar name to motion ini justru direspons dengan komunikasi yang buruk. Pemerintah bersikap defensif, mengkerdilkan aksi rakyat, dan menafikkan keadaan. Padahal, tagar ini adalah ekspresi kegelisahan terhadap keadaan,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa aspirasi yang disuarakan masyarakat melalui aksi dan gerakan sosial bukanlah hal yang bisa diremehkan. Menurut dia, suara-suara serta kritikan masyarakat saat ini benar-benar menggambarkan bahwa pemerintah Indonesia cenderung abai terhadap kondisi yang dirasakan masyarakat.
“Kondisi yang disuarakan masyarakat lewat aksi dan gerakan sosial adalah riil, tolong jangan dianggap remeh,” kata Hensa. “Tonton deh, kanal Jangkrik Bos ala Hensa di youtube, playlist yang saya bicara dengan para pelaku usaha di jalan, keluhannya sama.”
Hensa pun mendesak pemerintah untuk mengubah pendekatan dalam menanggapi gerakan sosial. Menurut dia, sikap meremehkan hanya akan memperburuk kepercayaan publik, sementara komunikasi yang baik dapat menjadi jembatan untuk memahami dan menyelesaikan masalah.
“Sekali lagi, kemunculan tagar-tagar tersebut adalah bukti bahwa pola komunikasi yang dijalankan pemerintah saat ini terhadap masyarakat cenderung memburuk,” kata Hensa.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto diguncang sejumlah demonstrasi sejak dilantik pada 20 Oktober lalu.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) bersama Koalisi Masyarakat Sipil turun ke jalan dalam aksi bertajuk Indonesia Gelap di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Aksi ini menjadi respons atas kebijakan-kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang dinilai kontroversial, menciptakan ketidakstabilan ekonomi, serta merugikan masyarakat kecil.
Demonstrasi yang digelar tepat setelah pemerintahan Prabowo-Gibran genap 100 hari ini menandakan ketidakpuasan yang semakin meningkat terhadap jalannya pemerintahan. Misalnya, program Makan Bergizi Free of charge dan bantuan sosial pangan. Meskipun mendapat apresiasi dari sebagian masyarakat, program ini juga memunculkan banyak masalah, mulai dari pembengkakan anggaran, dugaan korupsi, hingga insiden keracunan siswa di Solo akibat konsumsi makanan dari program tersebut.
Selain itu, kebijakan mendadak seperti pembatalan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta pemangkasan anggaran kementerian dan lembaga melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 justru memperburuk situasi.
Dalam demonstrasi ini, BEM SI dan Koalisi Masyarakat Sipil mengajukan sejumlah tuntutan, antara lain:
– Efisiensi Kabinet Merah Putih secara struktural dan teknis agar tidak terlalu besar dan boros anggaran.
– Mendesak Presiden Prabowo mengeluarkan Perppu Perampasan Aset guna mengoptimalkan pemberantasan korupsi.
– Menolak revisi UU TNI, Polri, dan Kejaksaan yang dinilai melemahkan transparansi dan akuntabilitas.
– Evaluasi overall pelaksanaan program Makan Bergizi Free of charge, agar tidak menjadi lahan korupsi.
– Mewujudkan pendidikan free of charge bagi seluruh rakyat tanpa ada diskriminasi kelas ekonomi.
– Menolak revisi UU Minerba yang berpotensi menguntungkan oligarki tambang.
– Menghapuskan dwifungsi militer di sektor sipil, agar demokrasi tetap terjaga.
– Reformasi menyeluruh terhadap institusi Polri, guna mencegah penyalahgunaan wewenang.
Ketua BEM Universitas Indonesia (UI), Iqbal Chiesa, menyoroti kebijakan pemangkasan anggaran yang justru dinilai memperburuk kondisi rakyat.
“Kami mahasiswa UI merasa resah dengan kondisi bangsa akhir-akhir ini. Terlalu banyak kebijakan yang dibentuk secara ugal-ugalan, terlalu banyak penderitaan yang terus-menerus dirasakan oleh rakyat Indonesia,” ungkapnya dalam pernyataan resmi BEM UI.
Michelle Gabriela berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan Editor: Tagar Kabur Aja Dulu, Zulhas: Itu Bentuk Kecintaan terhadap Negara