Sederet Tuntutan Mahasiswa ke MK Menggugat UU TNI Hasil Revisi
TEMPO.CO, Jakarta – Dua mahasiswa asal Batam, Kepulauan Riau, mengajukan permohonan uji formil terhadap UU TNI ke Mahkamah Konstitusi (MK). UU yang dimaksud adalah UU Nomor 3 Tahun 2025, yang merupakan revisi atas UU Nomor 34 Tahun 2004.
Permohonan dengan nomor perkara 58/PUU-XXIII/2025 itu didaftarkan pada Senin, 21 April 2025. Adapun kedua pemohon bernama Hidayatuddin dan Respati Hadinata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya memberikan kuasa hukum kepada Risky Kurniawan, Albert Ola Masan, Otniel Raja Maruli Situmorang dari Universitas Internasional Batam, serta Jamaluddin Lobang dari Universitas Riau Kepulauan.
Dalam permohonannya, kedua pemohon menyatakan bahwa proses pembentukan UU TNI cacat secara formil karena tidak memenuhi asas keterbukaan, kepastian hukum, dan partisipasi publik, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
“ Bahkan selama proses pembentukan UU TNI, pembentuk Undang-Undang melakukan prosesnya secara tertutup, tidak fair, dan banyak melakukan kebohongan publik,” demikian tulis pemohon, dikutip dari laman MK yang diakses pada Selasa, 29 April 2025.
Kedua pemohon itu berpendapat bahwa revisi UU TNI ini dibentuk dengan proses yang tidak transparan dan kurang melibatkan partisipasi publik. Mereka menyoroti rapat konsinyering yang dilakukan di luar gedung DPR sebagai salah satu hal yang perlu diperhatikan.
“Padahal sidang tersebut bersifat erga omnes dan secara langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Hal tersebut tentu akan menjadi preseden buruk bagi prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.”
Kemudian pemohon yang merupakan mahasiswa ini mengaku kesulitan mendapatkan akses informasi, termasuk risalah rapat dan siaran langsung, yang seharusnya tersedia demi menjamin partisipasi warga negara.
Mereka juga menyoroti bahwa penyisipan RUU TNI ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 dilakukan secara tiba-tiba dan tanpa memenuhi prosedur hukum, termasuk tidak adanya pertimbangan dari Badan Legislasi DPR, serta ketiadaan alasan “kegentingan yang memaksa” sebagaimana disyaratkan dalam Putusan MK No. 138/PUU-VIII/2009.
Permohonan yang diajukan memuat pula dalil bahwa tindakan DPR dan Presiden bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28F UUD 1945, yang menjamin persamaan di hadapan hukum, kepastian hukum yang adil, serta hak atas informasi. Mereka mengklaim bahwa konstitusionalitas mereka sebagai warga negara telah dilanggar oleh proses legislasi yang cacat prosedur tersebut.
Dalam permohonan yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi, para pemohon meminta agar lembaga tersebut secara tegas mempertimbangkan pemberian ganti rugi dalam putusannya terkait pengujian formil Undang-Undang TNI. Mereka menilai sejumlah pihak telah lalai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya selama proses pembentukan revisi undang-undang tersebut.
Perihal Ganti Rugi
Dalam dokumen permohonan tersebut, disebutkan secara rinci pihak-pihak yang diminta bertanggung jawab. Pertama, seluruh pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia periode 2024 – 2029 yang hadir dalam Rapat Paripurna ke-13 Tahun Sidang 2024 – 2025 pada 18 Februari 2025 diminta dijatuhi hukuman membayar ganti rugi kepada negara sebesar Rp 50 miliar. Mereka juga diminta dinyatakan telah lalai dalam menjalankan tugas, fungsi, dan kewenangan sebagai wakil rakyat.
Kedua, Presiden Republik Indonesia periode 2024 – 2029 juga diminta dijatuhi hukuman membayar ganti rugi sebesar Rp 25 miliar, karena dinilai lalai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dalam proses legislasi tersebut.
Ketiga, para pimpinan dan anggota Badan Legislasi DPR RI periode yang sama diminta membayar ganti rugi sebesar Rp 5 miliar, dengan alasan serupa yaitu kelalaian dalam menjalankan peran konstitusional mereka.
Uang Paksa (Dwangsom)
Dalam lanjutan permohonan tersebut, para pemohon juga menyinggung soal uang paksa (dwangsom) sebagai bentuk tekanan hukum untuk memastikan pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi berjalan sesuai dengan ketentuan.
Mereka meminta agar Mahkamah Konstitusi menjatuhkan sanksi dwangsom kepada pihak-pihak terkait apabila lalai atau tidak melaksanakan isi putusan sebagaimana mestinya.
Pertama, para pemohon meminta agar masing-masing pimpinan dan anggota DPR RI periode 2024–2029 yang hadir dalam Rapat Paripurna ke-13 pada 18 Februari 2025 dihukum membayar uang paksa sebesar Rp25 miliar per hari kepada negara. Sanksi ini diminta diberlakukan apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan isi putusan sejak tanggal putusan diucapkan hingga pelaksanaan dilakukan secara utuh.
Kedua, mereka juga meminta agar Presiden RI periode 2024–2029 dikenakan dwangsom sebesar Rp12,5 miliar per hari jika lalai dalam menunaikan isi putusan tersebut.
Ketiga, sanksi serupa dimohonkan kepada pimpinan dan anggota Badan Legislasi DPR RI periode 2024–2029 dengan nominal Rp2,5 miliar per hari, apabila mereka terbukti lalai menjalankan isi amar putusan MK.
Dalam petitumnya, kedua pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk:
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7104), tidak memenuhi ketentuan pembentukan
undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Menyatakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 7104), bertentangan dengan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
4. Menyatakan ketentuan norma dalam Undang-Undang yang telah diubah, dihapus dan/atau yang telah dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4439) berlaku kembali.
5. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Pilihan Editor: Koalisi Masyarakat Sipil Siapkan Uji Formil dan Materiil UU TNI